Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BACKPACKER ABSURD to LOMBOK

Hi!
(send me a message for translate in English)

Selamat berjumpa lagi di posting absurd gue.
Sebelumnya maafin ya, postingan tentang perjalanan sebelumnya terlihat belum rapi dan belum ada foto (no pic = hoax, katanya). Selain karena pekerjaan yang padat dan koneksi yang buruk banget, gue mungkin terlalu memprioritaskan cerita perjalanan kali ini.

Yap, my “dream trip” finally come true.

Kyaaaaaa!

Oke, selamat menikmati ke-absurd-an gue. Tapi sebelumnya, gue mau memperingatkan bahwa posting kali ini mungkin nggak se-epic posting di blog orang – orang kebanyakan tentang Lombok. Dan hasil jepretan gue juga nggak sekeren mereka. But, I hope you still enjoy this different point of view.



DAY 1


Seperti biasanya, gue ke Lombok bukan semata – mata buat trip. Gue ada “tugas negara” di sini. Selepas gue menunaikan tugas itu, gue pun nggak mungkin melewatkan kesempatan emas yang udah gue impikan selama bertahun – tahun ini.

Pukul 8 pagi, gue udah siap dengan sebuah tas punggung dan jaket. Kali ini perjalanan gue nggak pakai mobil travel atau angkutan umum. Gue melalui perjalanan panjang ini bareng salah satu temen gue (cewek, lajang, tangguh, dan easy going hahahaha!) pakai motor. Kenapa motor? Karena gue trauma sama travel agent (baca postingan perjalanan sebelum – sebelumnya) dan angkutan umum di lombok agak susah. Bukannya nggak bisa ditemui, tapi rute angkutan umumnya susah menyesuaikan itinerary kami. Hahaha! Tapi tenang, nanti bakal gue infokan juga buat kalian yang single – traveller dan nggak bisa pakai motor.

Jadi, gue pagi itu baru tanya – tanya dimana tempat penyewaan motor. Akhirnya kami menemukan sebuah tempat persewaan di daerah Cakranegara. Sebuah rental motor yang sekaligus ada hotelnya.




Bukan promo, bukan iklan, gue cuma - cuma ngepost kartu nama di blog gue biar orang yang butuh nggak kesulitan mencari hehehe


Kami pun sebenarnya agak ragu – ragu, apakah kami bisa menuju tempat – tempat wisata yang sama sekali tidak kami ketahui keberadaannya. Untunglah, kami selamat berkat marka jalan. Haha.

Ada sedikit tips buat kalian yang sewa motor:

1.       Pastikan kalian diberi STNK, helm dan jas hujan (meskipun jas hujannya bisa jadi nggak terpakai).
2.       Cek mesin motor sebelum memutuskan menyewa, terutama kalo kalian mau sewa motor matic. (Jalur jalanan Senggigi – Gili – Pusuk adalah jalur pegunungan berkelok dan naik turun, silahkan memilih mau motor manual atau matic).
3.       Dan yang paling penting, periksa BAN! Kami mengalami pecah ban luar dalam (kesalahan bukan dari kami loh, hanya saja kami lupa cek ban pas berangkat). Untung aja sudah di daerah Mataram. Kebetulan pemilik persewaan ini baik banget, kami dijemput dan ditukar motor. Highly recommended lah kalo mau sewa di sini. Sayangnya jumlah motornya nggak terlalu banyak.

And finally, kami berangkat menuju Gili Trawangan. Sebenarnya menuju Gili Trawangan ada dua jalur, lewat Senggigi atau lewat Pusuk. Kami memilih perjalanan terjauh yaitu lewat Senggigi karena hari masih pagi dan kami “merasa” nggak terburu – buru.
Kami pada dasarnya nggak tau dari mana ke mana batas Senggigi itu. Pokoknya sepanjang perbukitan itu view-nya keren banget. Dan pada akhir perjalanan kami baru sadar kalo tempat – tempat yang kami anggap eksotis itu bagian dari Senggigi dan Bukit Malimbu. Pantesan keren banget tempatnya, haha!


Damai di Senggigi


Senggigi dari ketinggian


Singgah sejenak...


Semacam makam gitu sih

Kami pun sempat mengunjungi pelabuhan yang melayani tujuan Bali – Lombok.


Pelabuhan antar pulau

Kami cuma singgah di beberapa pos pemberhentian buat ambil foto, selanjutnya melaju ke Pelabuhan Bangsal, tempat penyeberangan ke Gili Trawangan.
Kapal di Pelabuhan Bangsal ada 3 jenis. Pertama, kapal publik yang harga tiketnya 20.000 rupiah per orang. Keberangkatannya tergantung kapal itu penuhnya kapan, asalkan udah 40 orang bakalan berangkat. Kedua, fast boat yang harga tiketnya 85.000 rupiah per orang. Ada jadwal keberangkatannya, kalau nggak salah tiap satu jam sekali dari pukul 9 pagi sampai 5 sore (pulang pergi 3 Gili). Ketiga, kapal sewaan yang harga sewanya gue kurang tahu, sekitar 100.000 rupiah ke atas.

Kami menjatuhkan pilihan pada fast boat, karena ingin hemat tapi malas menunggu kepastian (tsaaaaah!). Dan berangkatlah kami setengah jam kemudian, setelah berhasil mengisi perut di dekat pelabuhan. FYI, harga makanan di Lombok ini cukup murah. Bahkan kalo menurut kami yang sudah bergaul dengan harga luar jawa, Lombok menjanjikan kuliner yang murah. Motor kami parkir di penitipan motor, tarif per hari 10.000 rupiah/motor.

Secara nggak sengaja kami bertemu dengan dua cewek bule yang sedang kebingungan. Ternyata mereka bingung bagaimana kembali dari Pelabuhan menuju Gili Trawangan via kendaraan umum. FYI, nggak ada kendaraan umum menuju dan dari Bangsal – Mataram. Kalian harus menyewa mobil, carter angkot atau naik motor seperti kami. Bule ini ditawari carter angkot dengan harga 50.000 rupiah untuk 2 orang dan mereka menganggap itu harga yang mahal banget. Gue sebenarnya ketawa sih, mereka nggak tahu kalo tarif sewa mobil sebenarnya di atas 100.000 rupiah. Si sopir angkot pun memperingatkan gue untuk nggak membantu si bule yang dia sebut “pelit” itu. Hahaha. Ada – ada saja kejadian absurd yang menimpa kami.


Fast Boat menuju Gili Trawangan

Melu curlah kami ke Gili Trawangan. Sebelumnya boat kami singgah di Gili Meno dan Gili Air.

Dan akhirnya tibalah kami di Gili Trawangan.


Pelabuhannya


Cafe dan Bar nya


Jalanannya di siang hari. Malam harinya akan dipenuhi wisatawan asing, mayoritas.


Pemandangan Gili Trawangan nggak sesuai ekspektasi gue. Awalnya gue pikir Gili Trawangan adalah tempat semacam Derawan, sebuah pantai berpasir putih yang sepi. Kenyataannya, begini.


Jalanan sudah disemen walaupun ada beberapa tepian pantai yang berpasir sehingga harus turun dan menuntun sepeda :)


Karena gue nggak sempat browsing penginapan murah sebelumnya, gue akhirnya jalan nggak tentu arah. Ketemulah kami dengan mas2 “calo” hotel. Entah kenapa kami pun akhirnya terdampar di sebuah penginapan seharga 200.000 rupiah dengan fasilitas AC dan fan. Harusnya sih, harganya nggak segitu. Kami tawar menawar aja, pemiliknya ramah banget. Penginapan ini juga menyediakan jasa rental sepeda. Dan akhirnya untuk harga rental sepeda pun kami mendapat potongan harga, hanya 40.000 saja per sepeda selama seharian.


Penginapan


Penginapan lagi


Lagi - lagi penginapan


Sekali lagi, gue nggak promo. Blog ini sama sekali tidak berbayar ataupun dibayar oleh siapapun.


Kami pun bersepeda keliling Gili Trawangan. Beberapa orang menawarkan paket snorkling 3 pulau seharga 100.000 rupiah. Sebenarnya harga sekian sangat murah, paket sudah include alat snorkling dan baju pelampung. Tapi yang menjadi permasalahan adalah jadwalnya. Berangkat dari Gili Trawangan pukul 10.30 dan kembali pukul 15.00. Seandainya kami tadi nggak bersantai di Senggigi, mungkin kami masih bisa ikut jadwal hari ini. Mengingat itinerary kami yang padat dan besok paginya kami harus sudah pulang ke Mataram, kami memutuskan untuk menyewa alat snorkling dan berenang di sekitar Gili Trawangan saja. Harga sewa alat plus baju pelampung adalah 30.000 per 3 jam. Kami pun berenang di Turtle Spot, walaupun akhirnya nggak menemukan satu penyu pun. Haha. Sayang sekali kami harus melewatkan snorkling 3 pulau itu, padahal pemilik penginapan sudah berbaik hati mau memperpanjang jam check out kami, loh! Benar – benar pemilik penginapan yang ramah.

Setelah capek snorkling, kami memutuskan untuk melanjutkan bersepeda keliling pulau. Gue merasa ada di negara lain, serius! Bule dimana – mana, bar berjejer rapi di sepanjang jalan, dan wisatawan domestik jarang sekali ditemui.

Gue sempat beli minum di warung kecil tepi jalanan dan yang melayani adalah anak sekitar 10 tahun. Dia fasih banget berbahasa Inggris. Gue sempat kagum, tapi mendadak kecewa setelah tahu dia nggak sekolah. Menurut pemikirannya, sekolah itu nggak penting dan dia bisa pintar hanya dengan belajar dari pengalaman. Ya, mungkin penduduk seluruh pulau ini semua learning by doing. Tapi gue merasa itu justru mem-barat-kan Indonesia. Dilema memang. Kalo kita memaksa para turis bisa memahami bahasa Indonesia, pariwisata kita akan sepi. Tapi sebaliknya, kalo kita memaksa mem-barat-kan Indonesia, jadinya malah merugikan diri sendiri. Betapa menyedihkannya ketika gue melihat menu – menu di bar atau restoran yang di-barat-kan namanya. Menurut gue, perkedel yang diubah namanya menjadi potato cake adalah absurd. Untungnya rendang masih bertuliskan rendang, bukan beef with spicy sauce. Duh. Tapi ya, sekali lagi, this is my own opinion loh. Hehe.

Jalanan berpasir membuat gue, yang jarang olah raga, sedikit terengah – engah.  Dan kami secara nggak sengaja nyasar ke jalan pintas yang meskipun jaraknya lebih dekat menuju spot sunset tapi agak sepi.


Si Bule ikut berpose pas gue ambil foto temen gue ini. Sayangnya doi langsung pergi, gue nggak sempat tahu siapa namanya. Hahaha.

Akhirnya, yang gue tunggu selama 5 tahun tiba juga. SUNSET GILI TRAWANGAN!


Gue bener – bener speechless.

Setelah hari mulai gelap, gue mulai merasa capek. Tapi sepertinya jarak antara spot sunset dan penginapan kami masih jauh. Berjuanglah kami menerobos jalanan dan beberapa spot penuh bule.
Tiba Рtiba kami menemukan sebuah spot tempat makan di luar caf̩ dan bar yang menjamur. Seperti sebuah kumpulan kaki lima lah. Kami pun meutuskan untuk makan dulu sebelum kembali ke penginapan. Gue nggak seberapa menikmati malam di Gili Trawangan karena gue nggak begitu suka keramaian yang keterlaluan, hehe. Selain itu, gue menghemat budget, hahaha!

Kami hanya menghabiskan 40.000 rupiah untuk 2 porsi soto (khas Lombok sepertinya, karena kuahnya agak aneh, seperti berwarna kehitaman) lengkap dengan sebotol air mineral. Harga yang lumayan murah untuk harga makanan di objek wisata.

Selepas makan, kami berusaha mencari dimana letak penginapan kami. Di tengah jalan, kami secara tidak sengaja menemukan penjual ice cream. Kami pun tertarik. Satu scoop hanya 15.000 rupiah. Saat membeli ice cream itu, gue membaca sebuah list harga penyeberangan.


Seakan - akan kami couple ya. Sial. Haha.



Papan info yang sempat gue foto


Dan kami baru sadar kalo penginapan kami jauh banget masuknya ke dalam gang. Hahaha! Dan malam kami berakhir dengan tepar di kamar aja, kecapekan.


DAY 2

Kami bangun subuh dan segera bergegas mencari pemandangan fenomenal selanjutnya: SUNRISE! Keadaan pagi hari sangat kontras bila dibandingkan dengan malam hari. Benar – benar sepi. Hanya ada pegawai bar atau restaurant yang membereskan kedai mereka. Momen ini yang paling gue suka. Sepanjang pantai masih belum ada manusia. Dan, WOW! Pemandangan sunrise di sini benar – benar…nggak kalah sama sunset!

Lagi – lagi, speechless!


Romantis. Banget.

Setelah merasa harus beranjak (padahal, serius, gue kerasan di suasana sunrise kayak gitu!), kami berniat menuju penginapan untuk sarapan. Tapi di tengah jalan kami bertemu dengan ibu – ibu penjual nasi. Katanya, itu nasi khas Lombok. Namanya nasi PUYUNG. Semacam nasi campur gitu tapi ada kriuk nya, entah dari apa. Kami pun memilih makan nasi Puyung daripada hanya sekedar makan roti bakar di penginapan, hehe.

Setelah perut kenyang, kami memutukan untuk segera membeli tiket kembali menuju Bangsal. Lagi – lagi, dalam perjalanan kami bertemu dengan penjual ice cream. Kali ini ada namanya: Gili Gelato. Harganya memang lebih mahal dari yang malam itu tapi rasanya pun lebih enak, hehe.


Gelato kedua. Kali ini gue udah nggak mau dikira couple lagi. Hahaha.


Kami membeli di saat penjualnya baru aja buka kedainya. Sepiiii.


Dengan berat hati, setelah tiket balik sudah di tangan, gue harus ikhlas meninggalkan Gili Trawangan. Gue bertekad akan kembali lagi.

Sesampainya di Bangsal, kami melanjutkan perjalanan. Hari kedua ini kami ingin mengeksplore Pantai Kuta Lombok dan sekitarnya. Hanya saja jaraknya terlalu jauh, jadi kami memutuskan untuk beristirahat di Mataram dulu. Buat kalian yang nggak bawa motor, banyak kok persewaan taksi atau mobil bahkan angkot di pelabuhan Bangsal. Hanya saja, kalian harus tahu berapa rate sewanya. Jangan kayak bule yang pernah kami temui sebelumnya. Haha!
Kami memilih jalur lewat Pusuk untuk menuju Mataram. Jalur ini cukup ekstrim dan berkelok – kelok, juga naik turun meskipun jarak tempuhnya jauh lebih singkat daripada lewat Senggigi. Di sisi kiri dan kanan jalan adalah hutan rimba yang rimbun. Beberapa kera tampak berjajar di tepi jalan. Sepertinya mereka masih liar namun terlihat jinak.
Tengah hari kami sampai di Mataram. Kami memilih masjid raya Lombok sebagai tempat istirahat, sekaligus mencari makan siang murah di sekitar masjid. Setelah satu jam lebih, kami melanjutkan perjalanan menuju Kuta.

Tak disangka, ternyata untuk menuju Kuta kami melewati Desa Sasak Sade, pusat kerajinan tenun khas Lombok. Akhirnya kami mampir dulu ke sana.
Untuk menikmati objek wisata Sasak Sade, pengunjung diharuskan menyewa giude. Memang, itu dibutuhkan untuk mengetahui sejarah tempat ini. Awalnya kami tidak tahu berapa biaya sewa guide. Dengan berbagai cara akhirnya gue mendapat informasi dari para supir taksi dekat situ, harga sewa giude hanya 30.000 rupiah.

Desa Sasak Sade memang masih tradisional. Di sana kami juga bisa praktek bagaimana cara menenun.


Jalanan kembali dari Bangsal (lewat Pusuk)


Karena gue motret dari motor yang melaju kencang, monyet - monyet ini jadi kurang jelas


Sekali - kali, gue menampilkan penampakan gue, boleh, kan?



Rumah di Desa Sasak Sade


Peralatan menenun, Sebenarnya ada foto pas kami diajari menenun tapi, ah sudahlah, mendingan nggak terlalu banyak menampilkan penampakan gue di blog ini hahaha



Desa ini menjual hasil kerajinan mereka


Katanya ini tempat menyimpan hasil panen


Entah karena kami merasa nggak enak kalo nggak beli atau karena memang kami tertarik, akhirnya masing – masing dari kami membeli sebuah hasil tenun para ibu – ibu desa ini. Hahaha!

Kami pun melanjutkan perjalanan panjang menuju Kuta.

Gue pikir, Kuta itu adalah pantai seperti Senggigi dan sejenisnya. Ternyata….gersang. Hanya batu – batu. Tepian pantainya jauh. Dan yang mengganggu adalah anak – anak kecil yang memaksakan membeli barang dagangan mereka. Mengganggu, menurut gue. Boleh menawarkan tapi tolong lah jangan memaksa kayak gitu.


Kuta Lombok


Spot yang dipake foto sejuta umat


Senjanya nggak kelihatan

Kami pun mencari penginapan. Terdamparlah kami di penginapan Doyok. Kami juga memilih random, belum ada list sama sekali. Kamarnya lumayan nyaman, hanya saja airnya asin jadi kami kurang nyaman. Ya sudahlah, mungkin seluruh penginapan juga asin airnya. Dengan fasilitas fan kami mendapat harga 120.000 rupiah.

Setelah sejenak beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Aan. Gue pikir perjalanannya nggak jauh tapi ternyata jauh dan sepi jalurnya. Dan papan penunjuk jalan sangat minim sehingga mau tidak mau harus mengira – kira sendiri arah jalanannya.

Betapa kecewanya kami, ketika sampai di Tanjung Aan, penjaga parkir memperingatkan kami kalo tidak boleh terlalu sore di pantai. Alasannya adalah keamanan di jalan menuju Kuta yang katanya rawan. Apalagi kami berdua cewek. Padahal gue ingin banget naik ke atas bukitnya. Peringatan buat kalian yang mau ke Tanjung Aan, pilihlah waktu sebelum senja.

Kami juga ditawari menyeberang ke Pantai Batu Payung, yang ada batu2 bagus gitu, netuknya kayak payung. Sekali lagi, kami harus menolak. Bukan karena duit, tapi menuju ke sana cukup memakan banyak waktu.

Akhirnya kami hanya mendapat beberapa foto mainstream.



Bukit di Tanjung Aan


Harusnya bisa naek ke bukit itu atau menyeberang ke Batu Payung, sayangnya udah kemaleman


Senjanya nggak kelihatan juga

Untungnya, gue mendapat pemandangan senja yang menawan saat perjalanan pulang.



DAY 3

Perjalanan kami di awal hari ketiga ini dimulai dengan adegan pecah ban. Beruntungnya kami, ban kami pecah tepat di depan Toko Oleh – oleh Sasaku, tepat beberapa meter setelah memasuki kota Mataram. Dan beruntungnya juga, si pemilik persewaan dengan senang hati menjemput kami dan mengganti motor dengan motor lain karena kami sudah terlanjur sewa selama 3 hari. Oh iya, kami juga mendapat harga murah saat menyewa motor. Ukuran sewa motor di daerah Mataram, harga 70.000 rupiah per hari untuk motor matic termasuk murah.

Kami melanjutkan perjalanan dengan motor baru. Karena kami belum sempat sarapan, kami pun berniat merapatkan motor kami di warung apa saja yang sudah buka. Beruntung, warung Nasi Puyung khas Lombok di sekitaran cakranegara sudah buka.



Ini yang namanya Nasi Puyung khas Lombok

Setelah kenyang kami pun mencari objek wisata di sekitar kota Mataram saja karena tenaga sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke pantai Pink yang terletak di Lombok Timur. Buat kalian yang berniat memperbanyak objek wisata di Lombok, harus punya fisik yang siap terlebih dahulu atau bisa juga punya kantong tebal, jadi nggak perlu naik motor. Cukup sewa mobil. Hahaha.

Kami memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu, berniat untuk mengurangi beban punggung.

Lalu kami menuju bebrapa taman yang terkenal di Mataram. Salah satunya taman air mayura.


Taman Air Mayura


Semacam danau gitu sih


Penginapan ketiga kami


Suasananya asri, dekat dengan Mataram Mall


Ingat, sekali lagi ini bukan iklan atau promosi. Bukan blog berbayar!

Mainstream sih, tapi cukuplah untuk sekedar beristirahat. Dan karena kami merasa sudah cukup berkeliling Mataram, kami pun mencari oleh – oleh di Sasaku (pusat kaos Lombok) dan juga mencoba melihat – lihat Mall Epicentrum Lombok. Akhirnya kami terdampar di salah satu corner yang menyediakan menu ice cream pot.


Ice Cream Pot


QUOTES!!!

Sisa waktu kami habiskan menglilingi Mataram tanpa tujuan dan berakhirlah perjalanan singkat kami.
Keesokan paginya kami sudah bersiap untuk meninggalkan Lombok. Sebuah perjalanan absurd yang berkesan, gue benar – benar ingin kembali lagi ke Gili Trawangan. Segera.

Oke, see you on my next trip!


Keep calm and travel often!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Backpacker Absurd to Pantai Beras Basah, Bontang

Hi!

Gue menyempatkan diri menulis review perjalanan sangat singkat gue ke Bontang, salah satu kota di Kalimantan Timur.
Sebenernya gue berekspektasi bisa punya banyak cerita di tempat ini tapi mungkin Tuhan berkehendak lain, hahaha!
(Ini adalah tulisan dengan waktu mengendap terlama sebagai sebuah draft. Gue terlalu sibuk mengurus proyek baru.)

Yak, langsung aja gue review perjalanan singkat gue. Check this out!

Gue kembali menyempatkan liburan selepas tugas dinas. Ya, curi - curi waktu. Kali ini sengaja tanpa persiapan apa - apa. Pagi hari, gue baru cari - cari nomor travel yang bisa ngebawa gue dan temen - temen gue dari Samarinda menuju Bontang. Nggak gampang, karena kami cari yang harganya sesuai kantong. Setelah tanya sana sini, kami dapat mobil dengan harga seratus ribu per kepala. Karena waktu terbatas, gue sepakat pakai jasa mobil ini. Soalnya bapak travel ini juga menyediakan jasa travel buat kami balik dari Bontang ke Balikpapan nantinya dengan harga yang murah pake banget. (Lagi - lagi, travelling hemat adalah prioritas.)

Untungnya, recommended travel agent banget si bapak ini. On time! Tepat pukul satu kami meluncur ke Bontang, tanpa tau mau menuju kemana, hahaha! Tapi yang bikin kami terkejut, buset, kenceng banget!!! Perjalanan kami tempuh cuma dua jam (yang normalnya tiga - empat jam!). Gue terus terang nggak seberapa ngerti gimana cara dia mengemudi karena dalam perjalanan gue tidur pules banget (malam harinya gue begadang nonton sampai pagi, hehe.)
Setibanya di pintu masuk Kota Bontang, pak sopir baru tanya: Kita mau diantar kemana kah?
Gue cuma ketawa miris dan menjawab: Hotel pak, dekat beras basah. Dan si sopir kaget. Dia nggak percaya kalau gue langsung menuju tempat yang dinamakan beras basah. Ternyata si sopir bilang kalau jam siang - siang begini sudah tidak ada kapal ke beras basah. Karena gue berpikir Pulau Beras Basah (yang katanya little Maldieves) itu sejenis Kakaban, Maratua atau Sangalaki (Derawan) ya gue langsung berpikiran singgah di hotel lain yang ada di kota Bontang, yang paling dekat dengan pelabuhan. Sayangnya, pak supir tidak tahu menahu tentang hotel. Gue menyerah, akhirnya gue pun browsing dan menemukan satu hotel bernama Hotel Marina, letaknya di sebelah pasar Rawa Indah.

Sedikit review untuk hotel ini, sekelas hotel melati pada umumnya sih. Tarif yang ditawarkan juga murah. Tapi yaa, you know lah hotel melati itu kayak gimana.

(Pic)

Kami cuma meletakkan barang - barang dan bergegas cari makan. Sebenarnya ada beberapa hotel murah di dekat pusat kota Bontang (Hotel Garuda salah satunya) tapi karena halaman google pertama yng gue lihat adalah adalah hotel ini, ya sudahlah. Plus-nya di sini adalah hotel ini dekat dengan pasar Rawa Indah (gue bakal menjelaskan makna "plus" di sini ntar). Akhirnya setelah agak lama, kami mendapatkan angkot menuju sebuah tempat mirip cafe (atau sebut saja tempat makan yang tidak termasuk dalam kategori "warung"). Kami ngemil di sana sambil googling tempat apa lagi yang bisa kami eksplore sebelum menuju Beras Basah besok. Kebetulan si pelayan menyebutkan kalau Cafe Singapore (sebuah cafe yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Bontang) tidak jauh dari tempat kami. Kami pun memutuskan ke sana. Sayangnya, menemukan angkot di Bontang sore hari amatlah menyebalkan. Hampir dua jam kami berdiri, tidak ada satupun angkot yang lewat. Untungnya, penantian kami terbayar dengan datangnya sebuah angkot dengan seorang supir yang super ramah. Kata temen gue sih, tampang preman tapi hatinya dermawan (cuma gara - gara si supir akrab banget sama anak - anak SMP yang kebetulan mengisi penuh angkotnya).

Ternyata yang dimaksud dengan Cafe SIngapore adalah sebuah cafe yang dibangun di tepian laut dan di sana berdiri sebuah "MERLION". Yap, persis dengan patung kebanggaan Negara Singapura.

(Pic)

Kami pun kembali ngemil di sana karena menu makanan yang ditawarkan belum menggoda iman kami untuk makan. Kelihatannya sih, orang yang datang ke sini tujuan utamanya adalah foto di patung itu. Tapi sungguh disayangkan. Kenapa justru membangun sebuah icon seperti negara tetangga? Kenapa mereka tidak membangun patung Gajahmada, Garuda, atau bahkan patung Neptunus sekalian, biar nggak dituduh "menjilak"? (abaikan, ini pertanyaan bodoh.)

Oke. Kami pun melanjutkan perjalanan, kali ini dengan angkot yang sama. FYI, kami "mengontrak" angkot tadi untuk mengantar dan menjemput kami karena lokasi Cafe Singapura yang jauh dari jalan raya. Kami tidak mau mengambil resiko bahaya mengingat kami semua perempuan dan jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. Kami pun kembali ke hotel dengan niat mencari makan di sekitar hotel saja.

Memang dalam perjalanan kami yang tanpa rencana dan persiapan, selalu ada keberuntungan (Alhamdulillah). Ternyata hotel kami tidak jauh dari sebuah area PKL yang menjual makanan khas bontang: IKAN SAMBAL GAMI. Ya, kami merasa sangat beruntung. Area PKL ini ramai sekali. Ternyata penjual di sini hanya berdagang di malam hari. Betapa senangnya kami karena besok malamnya kami sudah tidak menginap di hotel ini lagi.

Kami pun kalap. Seporsi besar ikan ludes dalam sekejab. Ikan di sini dijual per-kg. Jadi, kita bebas memilih ikan mana yang akan dimakan, ditimbang dulu, lalu deal harganya berapa. Benar - benar hemat kalau kita makan rame - rame.

Selepas makan, kami langsung ke hotel. Jarak area PKL ini tidak jauh dari hotel jadi kami cukup jalan kaki saja.

Keesokan harinya, kami menuju pelabuhan. Karena masih ada teman kami yang belum sampai di Bontang, terpaksa kami harus menunggu. Terus terang, gue kaget banget melihat pelabuhannya. Mungkin karena sebelum - sebelumnya gue travelling ke beberapa tempat yang cukup "wah", gue langsung speechless pas lihat pelabuhan di sini. Biarlah gambar yang berbicara.

(Pic)

Setlah rombongan siap, kami pun menyewa kapal. FYI, kapal di sini sudah ada rate harganya, khusus hari sabtu - minggu. Semacam ada koperasi yang mengelolanya gitu deh. Tapi untuk weekday (kabarnya) bisa langsung nego dengan para pemilik kapal sehingga lebih murah. Kami diberi harga lima ratus ribu PP. Karena tidak punya pilihan lain, kami pun berangkat.

(Pic)

Satu jam lebih kami ngambang di laut dan akhirnya menemukan pemandangan ini.

(Pic)

Dan...ya...sekali lagi gue speechless....ini  (lagi - lagi) bukan seperti ekspektasi gue...

(Pic)


Sekali lagi, tulisan ini murni dari pendapat gue, no offense, ya! Gue mikirnya Pantai Beras Basah yang dijuluki Little Maldieves itu bakalan mengalahkan Derawan (yang sampai saat ini masih memegang urutan teratas selama gue travelling). Ternyata kenyataan memang terkadang harus jauh dari khayalan, Jendral! Hahaha. Tapi nggak masalah. Kali ini gue travelling dengan banyak teman (ini kali pertama gue travelling rame - rame) jadi gue masih bisa have fun ketawa - ketiwi bareng mereka.

Keadaan pantai di sini cukup ramai. Ada fasilitas Banana Boat dan Snorkling. Tapi kami ngak mencobanya karena kami datang pas matahari ada di atas kepala. Kami malas nyebur haha! Airnya memang tidak seperti Derawan but it was also crystal water, indeed. Well, tempat ini masih cukup menarik kok untuk liburan. :)

(Pic)

Kami tidak berlama - lama di sini, selain karena kami nggak nyebur dan cuma berkeliling pulau yang memakan waktu kurang dari setengah jam, kami juga malas kalau harus membayar mahal untuk sekedar buang air kecil. Ya, di sini kami harus membeli air tawar dengan harga yang cukup mahal: lima ribu rupiah untuk satu dirigen kecil.

Karena masih banyak waktu luang, kami mencari objek wisata lain. Dan salah satu teman kami (yang kebetulan baru saja penempatan kerja di Bontang) bilang kalau ada satu tempat lagi yang disebut Lembah Hijau. Karena capek berekspektasi dan nggak punya tujuan lain, akhirnya kami serombongan sepakat menuju ke tempat itu, entah bagaimana wujud tempatnya, yang penting ada tujuan lain. Hahaha!

Dengan menyewa angkot (dua ratus ribu PP dan pak sopir mau nungguin) kami menuju ke sana. Jauh juga ternyata. Dan pemandangan selama menuju ke Lembah Hijau benar - benar menyedihkan. Pembakaran lahan sedang banyak terjadi sepanjang jalan. Entah ini mmenag musim berladang atau musim membinasakan hutan (agak ngeri gue nulisnya) tapi manusia harusnya nggak perlu melakukan ini, se-kaya-apapun hutan Indonesia. Gue bukan sok suci, gue pun belum sepenuhnya menghargai alam tapi di bumi Kalimantan ini manusia - manusianya udah kelewatan banget mengekploitasi alam. Yang batu akik lah, yang batu bara lah, yang hutan lah, apa - apaan sih mereka?!

Oke, gue nggak marah - marah lagi.

Kita lanjut ke Lembah Hijau. Memang beneran lembah dan beneran hijau. Tapi di sini kami melihat hamparan taman bermain yang sepiiiiiiiiiiiiii bangeeeeeeeeet. (Buset, gue lebay banget nulisnya) Saking sepinya, gue sampe nanya ke mbak - mbak penjaga tiket di pintu masuk: Mbak, ini masih buka atau sudah tutup ya, kok sepi?
Dan si mbak itu cuma senyum sambil ngomong: Tadi ada tiga ratus orang yang ke sini, sekarang sudah sepi, kan sudah sore. (Dan gue melirik jam tangan masih pukul dua siang).

Gue nggak mau mempermasalahkan ini sepi atau ramai, yang jelas miris banget melihat objek wisata satu ini. Banyak wahana yang tutup di weekend pukul dua siang hari. Di sini sebenarnya cukup lengkap wahananya. Ada sepeda air, saung pemancingan (yang sebenarnya bisa dipakai piknik juga), ada waterboom dan beberapa kolam renang (yang pintu masuknya terkunci) dan arena bermain seperti Taman Teletubbies dan Arena Kurcaci (yang astaga....gue bingung harus menyebutnya kebun yang terbengkalai atau tempat syuting film horror).

Kami menyusuri area Lembah Hijau. Gue membayangkan kalau tempat ini dikelola dengan baik, pasti akan menarik banyak pengunjung. Hanya saja, tidak hanya areanya yang tidak terawat tapi hewan - hewan yang "dipenjara" di sana. Gue kasihan melihat mereka, entah kenapa.

Semoga saja, pemandangan yang gue lihat ini semata - mata karena ini sudah sore dan sudah mau tutup (gue masih berharap mbak penjaga tiket masuk nggak berbohong. Suer!)

Kami hanya foto - foto narsis aja di sini dan kemudian pergi. Bukan kembali ke hotel melainkan ke tempat salah satu teman kami. Ya, malam harinya kami langsung menuju Balikpapan jadi kami tidak booking kamar hotel lagi. Selanjutnya kami pun bingung mau kemana, hahaha!

Ada usulan, kami makan malam di sebuah area PKL lain yang lebih ramai, namanya Koperasi Pupuk Kaltim. Dan wow, this is the most interesting place while I'm here! Makanannya lengkap, murah dan rame! Haha! Kami kalap. Sembilan orang makan dengan berbagai menu. Ikan bakar, sate, gudeg, batagor, siomay, sampe takoyaki pun ludes tanpa sisa dalam waktu singkat!
Pukul setengah sebelas malam, mobil yang kami sewa untuk berangkat sudah siap mengantar kami kembali. Bukan ke Samarinda tapi langsung ke Balikpapan. Bukan sebuah perjalanan malam yang singkat, tentu. Kami tiba di Balikpapan keesokan harinya, pukul enam pagi jadi kami tidur dalam perjalanan. Tentu saja si sopir berhenti beberapa kali di warung - warung pinggir jalan sekedar untuk minum kopi agar tidak mengantuk.

Sebuah cerita dari perjalanan singkat, melelahkan, tapi tetap ada makna dan cerita di dalamnya.


Sekian kisah gue. And I'm getting excited about my next journey. Guess where it is! :))

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BACKPACKER ABSURD TO PULAU NUNUKAN (INDONESIA) - TAWAU (MALAYSIA)

BACKPACKER ABSURD INDONESIA – MALAYSIA



Hi!
Setelah hibernasi gara – gara kerjaan kantor yang amit – amit banyaknya, kali ini gue bakal berbagi perjalanan lagi. Kali ini tujuannya memang luar negeri, tapi gue bakal lebih membahas sebagai perjalanan lintas batas.
OK, here we are!

Awalnya gue nggak merencanakan perjalanan semacam ini. Tujuan utama gue dan sohib gue adalah Kota Kinablu, Malaysia. Tapi ke-songong­-an kami berbuah penyesalan.

Perjalanan kami mulai selepas menjalankan urusan pekerjaan di Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Kami berniat menaiki kapal yang langsung menuju Tawau. Namun sayangnya kapal itu hanya berangkat di hari – hari tertentu saja. Rute Tarakan menuju Tawau hanya dibuka setiap senin – rabu – jumat. Sedangkan rute kembalinya adalah selasa – kamis – sabtu. Alhasil, kami memilih jalan lain. Menurut keterangan seorang teman, kami bias masuk Negara Malaysia melalui perbatasan, yang dikenal sebagai Sei Nyamuk (masih masuk dalam wilayah Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara).

Entah kenapa kami percaya begitu saja dengan informasi itu. Meluncurlah kami ke Sei Nyamuk pukul setengah sepuluh pagi. Karena cuaca yang buruk dan gelombang besar, kapal tidak berlabuh di dermaga biasanya. Tapi kesialan sepertinya mulai menempel pada kami pagi itu. Kami salah naik kapal. Dan kami baru sadar setelah mendaratkan kaki di Pulau Nunukan. Yak, kami salah pulau.
Setelah bengong dan menertawakan kebodohan, kami dibantu penduduk untuk menemukan cara menuju Sei Nyamuk. Menyeberang dengan menggunakan speedboat kecil yang membuat nyawa terancam akhirnya menyelamatkan kami. Kami pun menuju pelabuhan kecil Sei Nyamuk menggunakan jasa angkot (angkotnya mobil semacam Avanza gitu deh). Tapi si sopir menyarankan untuk lewat perbatasan lain, namanya “Haji Kuning”.

Pelabuhan Sebatik

Entah itu nama daerah apa, karena kami harus segera naik pesawat menuju Kinabalu (kami sudah memesan tiket PP) kami meng-iya-kan saja.

Ternyata yang dimaksud “Haji Kuning” adalah perbatasan Indonesia – Malaysia yang dijaga para petugas perbatasan. Dan, aksesnya melalui sungai kecil yang amit – amit ngerinya. (Suer, ada biawak yang gedenya kayak komodo di tepi sungai itu! Dan akhirnya kami tahu kalau itu adalah tansportasi barang Indonesia – Malaysia). Kami dengan polosnya naik perahu kecil. Di tengah jalan motorisnya Tanya: passport kalian sudah di cap?

Perlintasan bernama "Haji Kuning"

Kami bengong. Barulah gue sadar kalo gue belum mengantongi ijin resmi dari imigrasi. Gue langsung patah hati. Tanpa ijin resmi, kami cuma bakal tertahan di imigrasi dan balik pulang. Oke, kami nyerah. Kami putuskan buat balik ke Pulau Nunukan. Untung, ada sohib kami yang dengan sangat baik hati memberikan penginapan gratis. Tapi rasa nyesel dan nyesek itu nggak bias hilang. Bukan cuma rugi waktu, tapi uang tiket PP Tawau- Kinabalu pun hangus (walaupun  harganya nggak seberapa karena AirA*ia lagi promo waktu itu). Yasudah, kami memutuskan untuk menghibur diri tanpa tau tujuan selanjutnya.

Sohib kami menyerankan untuk tetap pergi ke Tawau lewat pelabuhan resmi Kabupaten Nunukan keesokan harinya. Ternyata, perbatasan lain sudah tidak melayani cap imigrasi. Jadi meskipun kami kemarin berhasil sampai di Sei Nyamuk, tetap tidak akan bisa menyeberang ke Tawau, Malaysia karena imigrasi tidak bisa lagi memberikan ijin. Sekarang, semua jalur menuju perbatasan dikendalikan oleh pelabuhan Nunukan – Tawau (hanya di Pulau Nunukan, bukan Sebatik) dan Tarakan – Tawau.

Hanya berbekal rasa pasrah, kami menuju pelabuhan dan memesan tiket jurusan Tawau. Jika memesan langsung PP, lebih murah harganya, katanya. Kami hanya menghabiskan 300ribu PP. Tapi….keadaan di pelabuhan yang membuat kami terpana. Kapal menuju Tawau hanya berangkat setiap pukul 08.30 dan 09.00 setiap harinya. Ya, dengan jadwal seperti itu bisa dipastikan penumpangnya menggila. Tapi ini benar – benar di luar ekspektasi kami. Tiba – tiba gue flashback ke pemandangan kereta ekonomi jurusan Jakarta – Surabaya di tahun 2008an. Miris. Terlihat sekali kelas para penumpangnya. Di bagian imigrasi pelabuhan lah yang paling rusuh. Nggak hanya saling dorong dan saling maki, tapi aksi para calo juga bikin gerah. Tapi kami masih beruntung. Ada kru kapal yang membantu kami “menge-cap” passport di imigrasi. Ini keberuntungan pertama kami. Keberuntungan kedua adalah: kami nggak ketinggalan kapal karena semenit aja kami telat, kapal udah nggak bisa dijangkau dengan lompatan kaki gue. Fiuh.

Di dalam kapal yang pengap, kami udah nggak kebagian tempat duduk. Beruntung, kru kapal teriak – teriak nyuruh semua penumpang ambil posisi duduk. Terjadilah adegan saling geser. Keberuntungan ketiga: kami kebagian tempat duduk. Gue sempat mengabadikan momen di dalam kapal. Silahkan menilai sendiri.


Suasana di imigrasi Kabupaten Nunukan


Suasana dalam kapal. Cuma ini yang sanggup gue abadikan......

Setelah dua jam lebih, akhirnya kami mendarat. Kembali kami dihadapkan pada suasana berdesak – desakan dan penuh makian. Gue sempat berpikir, bagaimana negara lain bisa menghargai kita kalau 
tindakan kita sendiri tidak berperikemanusiaan seperti ini?

Ah sudahlah, terlalu pelik kalau blog gue ngebahas permasalahan negara ini. Yang jelas, satu jam kemudian kami baru bisa menginjakkan kaki di Tawau setelah melewati imigrasi yang super ketat (gue nggak kebayang kalau kemaren gue maksa menerobos perbatasan tanpa cap imigrasi).
Begitu sampai, tempat pertama yang kami tuju adalah rumah makan. Laper bro! Kami menyusuri jalanan dan tibalah di salah satu rumah makan. Walaupun tidak seberapa enak di mulut, tapi karena lapar dan nggak ada pilihan rumah makan lain yang lebih dekat, kami makan dengan lahap. Lalu barulah kami berpikir kemana tujuan kami selanjutnya. Gue baca – baca blog, semua reviewnya tentang Kinabalu. Ya, memang iconic banget kan tempat itu. Tapi masalahnya kami sudah batal ke sana. Secara nggak sengaja gue kepikiran Sipadan – Ligitan, dua pulau yang katanya eksotik tapi udah bukan punya Indonesia lagi. Segera gue cari informasinya tapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya gue memutuskan untuk bertanya pada sumber paling akurat: manusia.

Setelah kami mengumpulkan informasi, ,kami menuju masjid raya Tawau untuk sholat sekaligus merebahkan punggung sebentar. Tapi sepertinya lagi – lagi kami kurang beruntung. Informasi tentang dimana masjid itu berada tidak akurat. Kami sudah berjalan jauh tapi tetap tidak menemukan si masjid. Untungnya ada ibu – ibu penjual mukena yang menunjukkan kami angkutan mana yang bisa menjangkau masjid itu dengan cepat dan murah (angkutan disana bernama “BAS”). Ternyata memang tidak jauh. Si masjid yang gagah sudah kami temukan.


Masjidnya Gede, Adem, Sepi 

Puas melepas lelah, kami buru – buru pergi ke terminal mencari bas tujuan Semporna (tempat penyeberangan ke SIpadan – Ligitan dan beberapa pulau eksotis lain). Lagi – lagi, untuk kesekian kalinya kami tidak beruntung. Ternyata susah sekali menemukan terminal yang dimaksud. Kami pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk membeli suvenir khas Tawau terlebih dahulu di Pasar Gantung. Tapi hal yang sama terjadi, kami tidak menemukan dimana itu Pasar Gantung.
Tapi di tengah keputusaan kami, muncullah sebuah toko grosir yang menjual bermacam oleh – oleh dengan harga miring. Kami pun kalap. Gantungan kunci berbagai jenis dengan harga 10 RYM per 7 buah dan beberapa aksesoris lain berhasil masuk ke tas kami. Setidaknya, kami masih punya oleh – oleh. Haha! Dan keberuntungan mulai datang lagi. Langkah kami tiba – tiba dituntun ke sebuah parkiran yang ternyata terhubung dengan Terminal Sabindo, tempat menemukan Bas menuju Semporna. Akhirnya, akhirnya, dan akhirnya, kami punya tujuan: SEMPORNA RESORT!


Bas nya bagus, bersih, nyaman

Dua jam perjalanan nggak menyiksa karena bas yang kami tumpangi cukup nyaman dan sopirnya pun tahu kalau kami tourist sehingga mengantarkan kami langsung menuju area penginapan. Karena hari sudah malam, kami memutukan untuk segera mencari tempat untuk tidur. Beruntung, pak sopir mendaratkan kami di Borneo Backpacker, hostel yang menyediakan dormintory murah buat para backapcker macam kami.

Karena gue pernah punya pengalaman buruk di dormintory (baca pengalaman gue ke luar negeri sebelum ini) gue jadi agak ragu apakah dormintory ini nyaman, karena kondisi sohib gue udah lelah banget (dia sama sekali belum pernah ke luar negeri, nggak mau dia merasa makin nggak nyaman dengan dormintory yang buruk). Harga yang ditawarkan 27RYM. Cukup terjangkau, tapi gue mencoba buat melihat terlebih dulu keadaan kamarnya.
HEAVEN! Ternyata dormin nya rapi, bersih, ber AC pula!


Ini hostel loh...



Begini dalem dormin yang harganya 27 RYM


Nah ini lorongnya...


Kamar mandinya bersih, hehe...

Dan kalau ngeliat barang – barang yang udah ada di sana sih, isinya cewek semua. Yosh! Gue terima kamar ini!
Setelah meletkan barang, kami memutuskan buat jalan –  jalan sambil cari makan malam. Ketemulah kami dengan Semporna Dive Inn Resort, resort yang dibangun di tepi laut. Pengunjung dipersilahkan melalui jalanannya tapi dilarang memasuki area resort jika bukan bertujuan untuk menginap.
Secara umum sih, ini sebenarnya nggak kalah dengan Pulau Derawan milik Indonesia. Tapi gue akui, pengelolaannya jauh lebih baik. Terbukti, orang yang “menghuni” sekeliling gue waktu itu semuanya BULE! (termasuk gue kali ya, kan gue juga bukan orang lokal. Haha!) Gue sih bermimpi aja, pariwisata Indonesia bisa dikelola sebaik ini. Lumayan kan, devisa!

Semporna Dive Inn pas malam hari

Puas menyusuri jalanan resort sambil foto – foto, kami pun makan di salah satu restoran. Niatnya sih kami cari menu yang aman, biar nggak aneh rasanya. Tapi……justru rasanya malah aneh. Judul menunya sih Mie Goreng Telur tapi begini wujudnya dan rasanya pekat banget. Kurang cocok dengan lidah gue sih.


Sebut saja ini mie...

Tapi yasudah, berhubung laper banget dan mata udah ngantuk, akhirnya tandas juga mie “entahlah” itu. Kami pun kembali ke dormintory. Benar dugaan kami, kamar ini isinya cewek semua. Dan kami pun langsung terlibat dalam pembicaraan bahsa asing. Mengandalkan kemampuan bahasa gue yang “ah sudahlah” ini, gue berhasil punya beberapa teman baru sesama backpacker. Ini hal yang paling gue suka dari sebuah perjalanan. Mengenal manusia – manusia baru.


Pagi hari kami nggak bisa ketemu sunrise. Ya, lagi – lagi hujan. Terpaksa harus menikmati sarapan dulu. Di lounge hostel kami sarapan bareng para BULE yang udah siap – siap diving. Ya, memang Semporna adalah tempat yang terkenal dengan Diving Spot nya. Hostel ini juga menawarkan Diving and Snorkling menuju beberapa pulau eksotis dengan harga yang nggak mahal. Kami sempattergoda, hanya saja nanti siang kami udah harus balik ke Tawau. Butuh minimal two days trip untuk bisa menikmati pulau – pulau itu. Akhirnya, lagi – lagi kami cuma bisa gigit jari.


Ini list harga paket diving yang sempat gue foto 

Kami memutuskan kembali ke Dive Inn Resort yang kami kunjungi semalam. Masih sepi. Cocok banget buat fotografi. Ternyata pemandangan siang juga nggak kalah bagus. Airnya lumayan jernih (meskipun lagi – lagi gue masih suka sama derawan).


Semporna Dive Inn pas siang hari, sepi kalau masih pagi


Ini resort di atas lautnya

Dan pukul setengah 10 kami check out dari hostel. Pemilik hostel bersedia memberikan kami tumpangan menuju terminal (yang sebenarnya nggak jauh sih dari hostelnya, tepatnya di tengah kota Semporna, dekat dengan sebuah patung Merelyn besar). Kecewanya, bas di sana menunggu penumpang penuh. Alhasil pukul sebelas kami baru berangkat dan sampai di Tawau pukul setengah satu.

Ada lagi kesialan yang menghampiri. Menurut instruksi salah satu teman, kapal terakhir berangkat pukul empat dan kami udah harus antri di pelabuhan pukul dua. Ternyata dia lupa bilang kalau yang dimaksud “antri” di sini adalah bukan di imigrasi tapi antri di agen tiket kapal untuk dicatat ulang.
Fiuh. Untungnya kami merasakan keganjilan sebelum mengantri panjang di imigrasi. Jadi, sebelum antri di imigrasi, tiket kita harus dicatat dulu di agen kapal (tergantung kita naik kapal yang apa, agennya semua berjajar di depan pelabuhan) barulah boleh mengantri di imigrasi, itupun kalau kapal yang akan kita naiki sudah tiba di pelabuhan. Lagi, rusuh! Dan ada prioritas untuk pemegang passport warna merah (pemegang passsport milik negara sebelah). Di sinilah rasa lelah gue bertumpuk. Selain antrian rusuh, kapal juga terlambat datang. Bayangan pemandangan dan resort yang keren di Semporna tadi menguap begitu saja. Kapal kami baru datang sekitar jam lima sore. Bayangkan aja gimana rasanya berdiri dengan badan capek di tengah kerumunan padat dan bau yang bercampur kayak gitu. Fail banget lah.

Kami pun naik kapal, untungnya kali ini dapet tempat duduk yang lumayan enak (walaupun masih kayak naek kereta api ekonomi dengan penumpang berjubel dan bau – bauan yang tercampur) dan tiba di nunukan sekitar pukul delapan malam. Ternyata, setelah diselidiki, harusnya kami bisa naik kapal sebelumnya (asal kapalnya berasal dari agen yang sama. Satu agen melayani lebih dari satu kapal) karena tiket kami itu tanpa tanggal dan tanpa jam.


Pulau Nunukan (sebagian kecil)

Well, sudah selesai perjalanan panjang kami. Kali ini nggak ada yang terlalu spesial. Tapi pemandangan di plabuhan Nunukan – Tawau banyak memberikan pelajaran. Ya, kehidupan di perbatasan memang keras dan miris.

Kami pun melanjutkan sisa malam dan keesokan paginya mengeksplore pulau Nunukan, sebelum kembali ke Kota Tarakan pukul 08.30. Negara sendiri lebih ramah dan lebih menyenangkan. Itulah kesimpulan gue.




Sampai jumpa di postingan berikutnya!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS