Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Backpacker Absurd ke Labuan Cermin, Teluk Sulaiman, dan Teluk Sumbang

Hallo!

Ini interval travelling yang cukup singkat, bulan lalu gue ke Singapore dan sekarang gue udah mau posting tentang destinasi lain. Bukan sesuatu yang aneh seandainya gue adalah seorang travel blogger, fotografi alam, atau emang cari duit melalui dunia travelling. Tapiiiii...pekerjaan gue jauh dari itu semua. Hehehe.

Lupakan. Yang jelas gue lagi - lagi mau share tentang perjalanan gue.

Blog ini tidak berbayar ataupun mengharapkan bayaran dari pihak - pihak yang tertarik untuk membayar (halah). Blog ini juga bukan catatan perjalanan atau curhatan, cuma sekedar ngasih tips buat para travelling yang sedang mencari hidden paradise sekaligus merasakan atmosfer masyarakatnya. So, happy reading!


Kamis, 4 Desember 2014

Lagi - lagi tanpa rencana matang, setelah segala proses tugas - tugas dinas gue beres, gue berpikir buat "hengkang" sejenak, mumpung lagi di "kota". Gue kebetulan lagi ada tugas dinas di Kota Tarakan. Karena gue udah pernah ke Derawan, gue coba cari destinasi laen. Sampailah gue (dan sohib gue, yang dulu gue ajakin ke Derawan) kepada satu pemikiran: Biduk - Biduk!


Gue tahu beberapa hal tentang Biduk - Biduk sepulang dari perjalanan Singapore, sebuah keputusan singkat memang kalau gue ternyata nekat travelling tanpa persiapan (lagi).

Biduk - Biduk adalah nama sebuah kecamtana di Kabupaten Berau, kalimantan Timur. Menurut beberapa blog yang gue baca sih, ada sebuah danau yang cukup fenomenal tapi masih jarang dikunjungi wisatawan di sana, namanya Labuan Cermin. Karena gue males cari destinasi lain sekaligus pengen travelling membelah hutan belantara, gue memutuskan untuk berangkat ke sana.

Pertama, kami naik speedboat menuju Bulungan (Pelabuhannya ada di Tanjung Selor) sekitar pukul 11.00 WITA. Sebenarnya bisa aja kami langsung menuju kabupaten Berau tanpa melewati Kabupaten Bulungan dan menempuh perjalanan darat yang amat sangat panjang, yaitu melalui jalan udara. Tapi tentunya, tiket kalstar tidak ramah pada dompet kami.


Kembali ke cerita. Tiket speedboat ikut naik seiring kenaikan BBM. Sekali perjalanan ke Tanjung Selor dihargai Rp 130.000 dengan waktu tempuh satu setengah jam (perjalanan pulang lebih cepat, hanya satu jam) karena cuaca sedang tidak bagus. Sesampainya di Tanjung Selor, kami mulai pasang tampang sok tahu. Ya, kami memang belum pernah singgah di kabupaten yang letaknya bersebelahan dengan kabupaten tempat kami kerja. Kami melangkah keluar pelabuhan dengan melewati banyak calo penyedia jasa travel. Gue butuh waktu buat mikir, jasa travel mana yang nggak mencekik. Ternyata ada bapak - bapak tukang ojek yang negur gue: "Mbak, mau kemana?"
Gue pun menjelaskan dengan suara lirih kalo kami mau ke Berau tapi buru - buru (sebenernya bukan asal ngomong sih, kami emang pengen cepet sampai di Berau, entah kenapa, hahahaha). Bapak itu lalu memanggil salah satu temannya, katanya dia nyediain jasa ke Berau dengan harga Rp 120.000 per orang. Karena menurut gue harga itu cukup wajar (gue sempat baca, di tahun 2010 harga travelnya Rp 90.000 per orang) maka gue meng-iya-kan si penyedia travel.

Pukul 13.00 WITA kami pun naik avanza menuju Berau. Jalanan Bulungan - Berau memang kurang ramah, gue sempat pusing, padahal seumur - umur gue nggak mabok kalo naik mobil. Dua jam berlalu dan akhirnya kami sampai di Tanjung Redeb. Sebelumnya si supir nanyain kami, apa udah punya travel menuju Biduk. Gue dengan jujur bilang kalo semua travel berangkat pagi dan kemungkinann kami bakal nginep di Berau kalau seandainya nggak ada travel di terminal. Si sopir rupanya pengertian. Kami diantar ke salah satu jalan, kalau nggak salah jalan haji Isa, ke terminal lama, katanya. Ternyata yang dimaksud "terminal" di sini adalah tempat parkir para sopir "taksi gelap". Oh iya, istilah taksi di sini adalah sebutan untuk mobil - mobil travel, jadi jangan dibayangin semacam Blue Bird atau Express gitu ya.

Kebetulan banget nih, si sopir punya kenalan teman yang melayani tavel ke Biduk (I talk about a luck, again and again on my post). Dan kebetulannya juga, temannya itu lagi standby di terminal lama. Kami pun segera nego harga pas kami ketemu temannya si supir. Deal dengan harga Rp 150.000 per orang, kami pun minta ijin untuk istirahat, sekedar sholat dan cuci muka. Kebetulan di sekitar situ ada masjid gede. Lumayan lah, buat duduk setelah perjalanan berkelok - kelok tadi.

Pukul 16.00 WITA, kami memulai perjalanan yang amat sangat panjang. Pak sopir ternyata mampir - mampir dulu, jemput penumpang. Jalanan Tanjung Redeb - BidukBiduk lebih ramah bila dibandingkan Tajung Selor - Tanjung Redeb tadi, namun jarak tempuhnya jauh banget! Bahkan kami sempat mampir di salah satu rumah makan, kata si sopir sih karena perjalanan masih panjang jadi selepas isya kami harus makan. Sepertinya pak sopir tahu kalau kami sudah mulai capek. Di warung ini kami cuma menghabiskan uang Rp 35.000 buat makan dan minum dengan porsi yang gede banget. Cukup murah untuk ukuran traveller kelaparan dengan dompet pas - pasan.

Tepat pukul 00:00 WITA kami benar - benar sampai di Biduk - Biduk. Si sopir memilihkan kami penginapan yang dekat tepian pantai. Penginapan MAYANG SARI namanya. Rate-nya Rp 185.000 per kamar AC per malam.



Kamar kami di bibir pantai. Bisa denger deburan ombak.....


Benar - benar perjalanan yang panjang. Diantara lelah, gue tiba - tiba merasa tenang. Aroma air laut, pantai, dan pedesaan mulai bisa gue hirup di tengah gelapnya malam. Tapi gue nggak mau kebanyakan berpikir, badan udah capek banget. Gue cuma bisa Say Hello ke mereka lewat senyuman sebelum masuk kamar penginapan.


Hit the Bed!

Jumat, 5 Desember 2014

Gue adalah pecinta sunrise dan sunset garis keras, pengejar matahari dan kedamaian di penjuru nusantara, dan penikmat surga tanpa ingin kehilangan nyawa. Hahaha. Itulah kenapa gue bela - belain bangun sebelum subuh meskipun badan dan mata masih kompak untuk terkapar. tujuan pertama hari ini: sunrise. Dan, gue ngerasa beruntung banget.


Wonderfull sunrise!


Nggak lama kemudian, temen gue bangun dan nyusulin ke pantai. Lagi - lagi, as usual, kami berdua diem - dieman di pantai. Speechless.

Karena kami udah niat banget ke sini, tentunya kami pengen cepet - cepet menuju Labuan Cermin. Pas masuk kamar, gue kaget, kok AC, TV dan segalanya mati. Apa barusan mati lampu? Ternyata setelah tanya tetangga sebelah, daerah sini memang hanya dialiri listrik saat malam hari. Untung aja semua gadget full charge.

Sambil sarapan nasi goreng di penginapan (FYI, sarapannya tiap hari adalah nasi goreng pake telor ceplok) kami ngobrol sama pemiliknya, gimana caranya menuju Labuan Cermin karena kemarin si sopir travel nawarin kami trip ke Labuan Cermin plus Teluk Sulaiman seharga Rp 1.600.000 (kalau dipotong perjalanan Tanjung Redeb - BidukBiduk PP untuk berdua sih Rp 1.000.000 tripnya doang). Ternyata di penginapan ini bisa sewa motor. Gue dan temen gue langsung bersemangat. Sewa motornya cuma Rp 50.000 seharian sampe puas Coy! Jauh banget kan beda harganya? Untung kami nggak meng-iya-kan si bapak travel.

Selepas sarapan, kami langsung bergerilya naek motor, menyusuri jalanan, pantai, dan menyapa sapi - sapi dan hewan ternak lainnya. Kenapa sapi? Karena sepanjang jalanan (sepanjang bibir pantai, tentunya) banyak bertebaran hewan ternak yang nggak dipeduliin pemiliknya. Artinya, elo harus hati - hati karena peringatan di sini bukan "HATI - HATI BANYAK ANAK KECIL" tapi "HATI - HATI HEWAN TERNAK". Tentunya, kotoran ternak juga bertebaran dimana - mana, hahahaha! Yang bikin gue heran, pohon kelapa di sini kok tingginya agak di luar normal ya?


Temen gue lagi naek motor, hehehe!



Akhirnya, kami sampai di Labuan Cermin. Boleh nggak gue menyebutnya dengan A little piece pof heaven?


WELCOME!

Di sini, kalo lo mau menuju Danau Labuan Cermin, lo harus sewa perahu, Rp 100.000 untuk satu perahu. Jadi kalau elo ke sininya rame - rame, tentunya jauh lebih hemat.


Ini potret A little piece of Heaven versi gue, selengkapnya visit my instagram @ndahcahya ya!



And this clear water speaks.......


Can you see something in the bottom of the lake?

Daaaan, kata pemilik perahu yang kami sewa, belom bisa disebut ke Labuan Cermin kalau nggak renang. Sewa ban atau pelampung cukup murah, Rp 15.000 per buah. Tapi untuk alat snorkling, saran gue sih bawa sendiri. Kurang nyaman kalo pinjem, walaupun mereka menyediakan. Dan nggak usah khawatir mata lo perih, airnya TAWAR!

Inilah keistimewaan Labuan Cermin, Air di sini rasanya tawar sampe kedalaman 3 meter. Tapi selepas 3 meter, lo bakal ngerasain asinnya air laut. Subhanallah sih ini, keren parah! GOKIL!


Best friend!


Setelah kami merasa cukup (walaupun sebenernya nggak akan pernah cukup di sini, apalagi kalo pas sepi, berasa punya kolam renang pribadi), kami melanjutkan perjalanan, pastinya dengan baju yang masih basah karena kami nggak bawa ganti (tadinya kami nggak berniat nyebur sih).

Selepas dari Labuan Cermin, kami menuju Teluk Sulaiman. Kata pemilik penginapan, kami bisa menikmati ari terjun di seberang, tepatnya di Teluk Sumbang. Dilihat dari fotonya sih keren dan kami pun tergoda.

Nggak usah khawatir tersesat di sini. Jalanannnya cuma lurus menyusuri pantai kok. Dan pastinya, di sekitar pasti bakal ada penduduk yang dengan ramah menyapa kita. Pasti ada tempat untuk bertanya. :)

Perjalanan dari Labuan Cermin ke Teluk Sulaiman cukup jauh. Setelah sampai, kami mulai mencari info bagaimana caranya untuk menyeberang. Untung ada bapak penjaga toko yang baik yang akhirnya mempertemukan  kami kepada salah seorang pemilik perahu kelotok. FYI, untuk menyeberang ke Teluk Sumbang, wisatawan bisa memilih pakai speedboat (yang hanya tersedia satu unit sepertinya) atau pakai perahu kelotok kayak gini:


Namanya Perahu Kelotok

Tarif yang dipatok adalah Rp 500.000 per kapal. Murah kan, kalau seandainya elu travellingnya bareng - bareng? Tapi jangan sensi juga kalau seandainya ada orang yang ikut nebeng dan ngarepin gratisan. Beberapa warga memang mencari - cari gratisan menuju dan dari Teluk Sulaiman - Teluk Sumbang. Kami pun menjadi salah satu sasarannya. Dan seperti inilah perjalanan kami menuju Teluk Sumbang.


This is my Indonesia!

Teluk Sumbang menawarkan keramahan warga, kesederhanaan masyarakat, sekaligus deburan ombak yang cukup besar. Dan juga air terjun yang menawan.


Air terjun Teluk Sumbang

Kami sempat mencicipi indomie di warung Bu RT, hehehe, kelaparan sembari menikmati keindahan. Murah meriah, cuma Rp 15.000 berdua.

Karena hari sudah sore, kami memutuskan buat balik. Sebelumnya kami singgah sebentar ke Pulau Kaniungan. Pulau baru yang juga barusan punya cottage. Gue yakin, 10 tahun ke depan, objek wisata ini bakalan sama kayak Derawan. Beruntungnya gue udah ke sini sekarang, sebelum terlalu dijamah traveller lain.

Pemilik perahu ngasih kami bonus! Dia belokin perahunya ke sebuah ledokan teluk yang dinamai Sigending. Semacam rawa tapi airnya BENIIIIIING! Beneran surga bawah laut! Gue langsung berdiri di perahu dan nggak bosen - bosen ngelihat ke bawah air. Ikan pari, penyu - penyu besar, dan terumbu karang yang masih asli! Bahkan kata pemilik perahu, ada seorang penyelam bule pernah bilang kalau terumbu karang di sepanjang Teluk Sulaiman - Teluk Sumbang - Kaniungan sebenarnya jauh lebih bagus daripada Derawan. Nah loh! Ngaku pecinta diving tapi belum pernah ke sini? Sayangnya, gue cuma punya videonya. (Asik ngevideo sampe lupa nggak ngambil foto, malah asik liatin ikan dan penyu di bawah, hehehe)

Kami akhirnya sampai di Teluk Sulaiman saat adzan magrib berkumandang. Untung saja kami sudah sempat sholat ashar tadi bersama warga Teluk Sumbang. Kami melanjutkan perjalanan kembali ke penginapan dengan diiringi serangga - serangga hutan yang mengganggu pandangan mata karena kami nggak pakai helm (sepertinya di sini helm memang tidak perlu dipakai, hehehe). Kami nggak langsung balik penginapan, karena masih harus memenuhi hasrat perut. Kami mencari warung makan ikan bakar yang tadi kami temui sewaktu berangkat. Menyusuri jalanan baru nan gelap tidaklah menyenangkan buat dua sosok perempuan muda seperti kami, rasa takut pasti ada. Tapi karena kami percaya keramahan warga di sini, rasa takut itu lama - kelamaan hilang dengan sendirinya. Bismillah aja. Akhirnya, begitu sampai di warung makan tujuan, kami memesan ikan bakar. Ekspektasi kami nggak tinggi tapi apa yang kami dapat ternyata sangat mengejutkan! Seekor ikan kakap putih, sepotong ikan laut dan semangkok gulai ikan adalah menu untuk satu orang. Lengkap dengan sambal dan es jeruk. Tanpa basa basi, kami melahap menu pesanan kami dengan lahap. Habis tak tersisa kurang dari setengah jam, hahaha! Dan kami lebih kaget lagi pas bayar ternyata menu untuk satu orang hanya dibandrol Rp 35.000 aja! Benar - benar lengkap liburan kami! Hahahaha!

Malam pun tiba dan kami memilih stay di penginapan aja. Itu pun nggak lama karena kami segera terlelap. Thanks God, meskipun gue nggak ketemu sunset karena mendung, segalanya tetap indah. Sangat indah.


Sabtu, 6 Desember 2014

Gue kembali berburu sunrise. Sayangnya, masih mendung. Matahari masih malu - malu banget. Gue dan temen gue memutuskan buat jalan - jalan saja, sambil menyapa warga sekitar yang memulai aktivitasnya. Kami melihat anak - anak yang berjalan kaki menuju sekolah. Kebetulan di sana ada SD dan SMP yang letaknya tidak jauh dari penginapan kami. Beberapa dari mereka bercanda, saling meledek, dan pastinya jalan kaki bersama - sama. Kesan "alami"nya kental banget. Jarang gue lihat ada siswa yang naik motor, kalaupun ada mereka diantar oleh orang tuanya. Menurut gue, begini seharusnya generasi muda itu. Sederhana. Nggak terlalu terjamah kejahatan kemajuan jaman. Dan dalam jalan - jalan pagi itu, kami nemuin ini:


Gloomy morning...


Biduk - biduk terlalu banyak menyuguhkan kedamaian dan keramahan. Sebuah trip yang lagi - lagi memberikan sense yang sensasional dan unforgetable. Kami pun balik dengan rute yang sama menuju Tarakan. Dengan travel yang sama juga.


Thanks, God!



Gue punya beberapa tips tambahan:

1. Kalau mau naik travel (maksud gue taksi, hehe) dari Tanjung Selor ke Tanjung Redeb / Berau, pilih taksi yang supirnya asli orang Berau, bukan orang Tanjung Selor. Kenapa? Menurut sopir gue sih, harga lebih murah dan nggak pake nunggu penumpang laen. Misal kayak kami kemaren, berdua pun langsung jalan. Ini nomer travel yang gue pake: 081347773115

2. Kalau mau naik travel dari Tanjung Redeb / Berau ke Biduk - Biduk, pilih ttavel milik orang asli Biduk - Biduk dan yang emang punya mobil pribadi (mobil travelnya itu emang punya dia, bukan punya bosnya). Kenapa? Karena kalo dia orang Biduk - Biduk asli, dia bakalan langsung pulang ke rumah, kita nggak pake bayarin hotelnya per malam (misalnya elo balik juga mau pake travel itu). Daaaan, kalo dia emang punya mobil sendiri, biasanya jauh lebih murah. Kayak gue itu, cuma Rp 150.000 aja. Hehehe. Ini nomer travel yang gue pake: 081354514004

3. Sebaiknya udah merencanakan pulang kapan dan pakai travel apa. Kemarin sih untungnya bapak travel gue agak baik, dia mau nganterin kami berdua balik Berau padahal ga ada penumpang lain. Konsekuensinya adalah kami bayar 2 kali lipat, Rp 300.000 seorang. Itu udah murah, masalahnya travel lain patoknya sejuta per mobil. Travel dari Biduk - Biduk ke Berau nggak setiap hari ada, tergantung penumpang (dan mood supirnya, hehehe) jadi sebaiknya mempersiapkan perjalanan pulang sebelum pulang, hehehe.




Oke, cuma itu yang bisa gue share.

See you on the next journey!  :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Backpacker Absurd ke Singapore

Hallo!

Fiuuuhhh, akhirnya gue punya waktu buat nge-blog. Yak, ditengah deadline kerjaan yang membabi buta, akhirnya gue punya kesempatan buat escape dari kantor yang jauh dari peradaban ini. Kali ini nggak tanggung - tanggung, gue ke luar negeri! (Akhirnyaaaaaaaaaaaaa....for the first time!)

Tapi, kali ini bukan perjalanan murah dan santai, melainkan trip yang mahal dan amat sangat singkat. Yak, trip gue kali ini kurang dari 24 jam. Nggak sampai 24 jam gue "menghuni" Singapore. Gila, ya, kesannya? Buang - buang duit, gitu? Awalnya gue juga mikir kalo gue bakalan mikir gitu (nah!) tapi untungnya gue ternyata nggak mikir gitu (apasih!).

Okelah, nggak usah dibahas gimana cara pikir gue. Yang jelas gue mau share perjalanan singkat gue. udah banyak sih yang nulis tentang SN (singkatan yang bakal gue pake buat kata "SINGAPORE" di seluruh blog ini) tapi ya, I just wanna make it immortal. Itu aja. Hehe.

Sabtu, 8 November 2014. 08:00 WITA.

Gue terbang naek Garuda Indonesia dari bandara Juwata ke Soekarno - Hatta. Buat yang nggak tahu bandara Juwata itu dimana, googling aja. Hehe. Kok naek Garuda Indonesia? Karena gue sebenarnya ke Jakarta mau ada tugas dinas, bukan mau jalan - jalan. Tapi karena gue memegang peribahasa "sambil menyelam minum cappucino" so gue nggak mau melewatkan kesempatan buat liburan. Gue mendarat di Soeta pukul 12:00. Tapi karena gue bawa koper dan berniat gue titipin di bandara, gue harus antri bagasi. Gue tentunya nggak mungkin bawa tas punggung doang kalo mau tugas dinas selama seminggu, kan! Dan nggak mungkin juga bawa - bawa koper itu ke SN. So, gue browsing gimana caranya ninggalin tu koper dengan aman dan selamat. Akhirnya gue dapet info penitipan barang di bandara. Karena gue anaknya sering ngeblank, gue buta arah waktu itu di bandara. Untungnya ada bapak - bapak keamanan yang nunjukin gue tempat nitipin koper gue ini.
Jam udah nunjukin pukul 12:30 WIB sementara gue masih nyeret - nyeret koper. Penerbangan gue ke SN pukul 14:00 WIB. Makin kacau lah gue. FYI, ada tempat penitipan barang di bandara Soekarno - Hatta, letaknya di terminal 2E, deket solaria, sebelah Alfamart. Tanya aja sama orang - orang di sana. Biayanya Rp 60.000 per hari dengan berat dibawah 25 kg. Kalo misal barangnya lebih berat dan waktunya lebih lama, pastinya tarifnya beda lah.

Urusan koper kelar. Gue langsung lari buat check in. Kalo di film - film tu semacam adegan Cinta yang ngejar - ngejar Rangga, tapi kali ini gue yang ngejar - ngejar pesawat. Dan bener aja, tinggal gue yang belom check in. Gue pun nggak ngarep lagi bisa duduk deket jendela (spot yang selalu gue minta di mbak - mbak penjaga loket check in) buat sekedar foto - foto. Buat ke SN ini gue naik Singa, cuma maskapai itu yang lagi promo. Ah, sudahlah. Lagipula gue yakin kok, gue bakalan tidur di pesawat. capek banget, Bro...

Namanya gue belum pernah ke luar negeri ya, gue bego banget pas di imigrasi bandara. Ngikut aja gue sama arus orang - orng. Gue nggak ngelihat kalo ada line khusus buat orang Indonesia. Astagaaaa, udah lama antri ternyata salah antrian. Lengkap sudah! Dengan menahan malu dan beranggapan kalo nggak ada yang kenal gue, gue pindah dengan muka datar. Untungnya ini masih di Inonesia, jadi gue bisa bebas tanya - tanya pakai bahasa Indonesia aja.

Masih sempat ngefoto mbak - mbak pramugari pesawat Singa

Gue beneran tidur di pesawat. Setelah beberapa lamanya gue terlelap, gue kebangun. Ternyata gue udah hampir sampai, landing position. gue mulai nengok ke jendela yang udah cukup jauh letaknya. terhamparlah kepulauan yang beda sama pulau - pulau yang biasa gue lihat.
Bandara Changi emang beda sama bandara laen yang pernah gue temui (sok banget, kayak gue sering naek pesawat aje). Wajar banget kalo disebut sebagai bandara terbaik ya. Bersiiiiiiiiih abiiiis. Rapi, tertib, daaaaaaan ketat bagnet imigrasinya. Mana petugasnya mukanya kaga ada yang enak dipandang, jutek!!!!

Bandara yang rapi, bersih, bersinar...hehehe

Sebelom berangkat, gue sempet baca sekilas beberapa blog. Dan mereka bener. SN menyediakan banyak peta, petunjuk, dan tanda - tanda yang bikin orang nggak bakal tersesat. Meskipun kemampuan berbahasa gue standard, gue ngerti kok gimana cari tempat imigrasi atau sekedar tau dimana pintu keluarnya, haha!

Pas petugas imigrasi periksa passport gue, dia sempet bingung. Jadi kan sewaktu boarding di Soeta, gue dibagiin semacam kartu yang wajib diisi. Sederhana sih, sekedar nama, nomor passport, dan tempat menginap. Nah ini yang gue ngisinya ngasal. Pasalnya, gue nggak berniat menginap, pada awalnya. Untungnya gue sempet baca beberapa nama dormintory di beberapa situs booking hotel. Gue tulis aja di sana. Eh ternyata namanya salah, hahaha. Dan petugas imigrasi SN curiga. Mampus lah gue. Gue cukup beruntung karena doi cuma nanya: "Is that a new hostel?" Dan gue dengan muka yakin ngejawab: "Yes!" Padahal jantung gue deg-degannya minta ampun. Kenapa gue nggak sadar kalo gue salah tulis hostel? Sedikit bodoh, emang.

Setelah lolos dari imigrasi, rasanya gue bener - bener ada di SN! Bebas! Haha! Gue berasa kayak orang gila kehabisan obat, senyum - senyum sendiri, mandangin kiri kanan depan belakang, foto - foto, bener - bener norak lah! Sampai akhirnya gue sadar, gue harus ketemu sama sohib gue. Yak, gue nggak bakal jadi single travel di sini. Gue dijemput sama salah satu sohib gue yang domisilinya di Kepulauan Karimun. Doi udah sering banget ngubek - ubek SN. Katanya kan Changi itu punya fasilitas free WiFi ya, jadi gue mikir masih bisa pakai Whatsapp lah ya. Eh ternyata..........gue salah! WiFi di sana harus pakai password! Matilah. Gue akhirnya coba kirim sms ke sohib gue itu. Untungnya doi bisa bales. Lega rasanya. Nggak kebayang gue di sini sendirian. Fiiiuuuuh.

Menurut gue sih, bakalan ribeeeet kalo lo niat backpackeran sendiri di sini sementara belom pernah sama sekali ke luar negeri. Walopun kemampuan bahasa lo lancar, waktu lo bakal banyak tersita buat "ngeraba - raba" tempat. Yaa, memang ada peta sih. Tapi kalo mau traveller dalam waktu singkat, sepertinya perlu dipertimbangkan lagi. SN emang nggak terlalu luas, tapi cukup bikin capek kok kalo diputerin, hehe.

Balik ke cerita gue. Ternyata temen gue salah jemput. Gue di terminal 2 sedangkan dia jemput di terminal 3. Okelah, akhirnya gue nungguin dia. Gue sih niatnya mau nyamperin dia aja gitu, tapi dilarang. Mungkin doi takut gue nyasar kali ya, padahal tingggal naek skytrain doang sih. Begitu gue ketemu sohib gue, kegiatan pertama yang kami lakukan adalah selfie, seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, haha! Kami emang lama nggak ketemu sih. Daaaan doi bawa tongsis! (banci kamera)

Abis menikmati Changi, gue maksa naek skytrain, meskipun tujuan kami sebenernya adalah stasiun MRT. Fasilitas skytrain yang disediakan oleh bandara Changi ini free, tapi rutenya cuma antar terminal. Menurut gue sih, pada dasarnya segala jenis transportasi di SN itu nggak jauh beda: semacam kereta, bersih, rapi, dan on time. Termasuk skytrain ini juga.

Dalemnya skytrain, nggak ada bangkunya ternyata hehehe

Selepas dari Changi, kami ke statiun MRT. Buat naek MRT kita mesti punya electronic card gitu. Gue sih dipinjemin punya temennya sohib gue, jadi tinggal top up. Soalnya kalo beli kartunya, 10SGD isinya 7SGD. Pada dasarnya sih MRT itu sebuah wujud canggih dari comline jabodetabek, jadi kalo mau naek ya tempelin kartunya di gate gitu. Kalo ditanya bedanya apa.....banyak! MRT lebih tertib, lebih bersih, lebih aman, lebih cepet, lebih on time, lebih segala - galanya laaaaah dibandingin comline. Yang pasti sih, SN emang mengusung tema negara yang tertib, bersih, aman, canggih, dan segala sebutannya, jadi please jangan tanya bedanya sama negara gue tercinta ini.

Sepiiiiiiiii....bersiiiiiih....

Sebenarnya gue nggak punya tujuan khusus di sini. Berhari - hari sohib gue nyuruh gue browsing tujuan gue kemana, gue meng-iya-kan aja. Ujung - ujungnya gue pasrah aja mau di bawa kemana. Akhirnya kami naek MRT dengan tujuan Marina Bay. Nama stasiunnya Rafles Place. Entah karena MRTnya cepet atau jaraknya yang deket (atau mungkin dua - duanya), nggak sampe setengah jam, kami sampai. Hari udah senja. Sebagai penggila senja, gue berniat cari spot senja yang bagus. Tapi cuaca lagi nggak mendukung, mendung. Tiba - tiba gue inget wejangan nyokap, gue disuruh bawa payung, tapi gue nggak nurut. Ya, mana tau kan kalo mendung. Dalam hati gue berdoa aja, semoga kalopun gue keujanan, gue ada di tempat yang tepat.


Perjalanan dimulai. Gue sih ngelihatnya kota ini kayak sodara kembarnya Jakarta tapi beda ibu-bapak (laaaaah). Isinya gedung, jalanan buat mobil dan pedestrian yang teratur, taman - taman, lampu - lampu, mall, dan pastinya orang - orang yang lalu - lalang. Kebetulan sedang ada lomba perahu dayung, suasana menjelang malam minggu yang meriah di Marina Bay. Gue cuma keliling dan foto - foto. Seperti biasa, cari spot si Merlion yang ternyata ramainya amit - amit. Ratusan kamera dari berbagai jenis dan merk, termasuk kamera smartphone sekaligus tongsisnya. Selepas dari sana, tiba - tiba sohib gue histeris: "Penjual es potongnya masih ada!" Ya, katanya sih, elu nggak ke SN kalo nggak makan es potong. Dari awal nyampe, sohib gue ini berisik banget cari - cari tukang es potong. Gue, yang notabene bukan penggemar fanatik es krim dan coklat, cuma iya-iya aja. Tapi sayangnya, bukan penjual yang kami temui, melainkan keluarga yang asik malem mingguan sambil makan es potong. Karena gue udah mengenal sohib gue terlalu dekat, gue yakin, doi pengen nanya dimana tukang jual es potong itu, tapi malu. ZZZzzzzzzzzzz!

Dengan modal bahasa yang apa adanya, gue berusaha secerdas mungkin merangkai kalimat. Dan lagi - lagi, ternyata mereka adalah orang melayu. (Setelah sebelumnya gue juga tertipu pas nanya arah terminal 3 ke ibu - ibu yang bersih - bersih toilet di Changi) Keluarga itu nunjukin ke gue arah - arahnya, sementara sohib gue mengamati dengan serius dari jaoh, pura - pura nggak kenal gitu sama gue, malu mungkin punya temen yang malu - maluin begini. Pfffffffftttttt.

Setelah menyusuri jalanan dan naik turun tangga, sampailah kami ke bapak - bapak tua penjual es potong. Ternyata cuma wafer yang diisi sama es krim berbentuk balok dengan berbagai pilihan rasa. Gue pilih blueberry, sohib gue pilih redbean. Ini juga karena rekomendasi brutal dari dia, katanya dia udah coba segala rasa, yang paling enak blueberry dan yang paling absurd teh hijau, kayak sabun katanya. Kami duduk sebentar. Senja mulai hilang. Malam muncul, sekitar kami semakin ramai. Ya, ini malam minggu. Terlalu romantis mungkin kalo dihabiskan bersama pasangan, makanya gue milih buat menghabiskannya bareng sohib gue ini. (Haelaaah!)

Setelah es krim abis, kami jalan lagi, katanya ada festival air mancur yang bagus. Tapi sayangnya, temen gue belom pernah lewat jalanan yang sedang kami lewati itu. Jadi lah kami meraba - raba. Lemahnya gue adalah kalo pas malem, semuanya jadi kabur di mata gue kalo nggak ada cahaya lampu yang mendukung. Entah dengan cara apa, akhirnya kaki kami sampai di THE HELIX, jembatan dengan desain unik, yang dihiasi lampu - lampu biru unik di malam hari. Kereeeen!

Cuma ini foto yang jelas...lainnya ngeblur :(

Malem mingguan di sepanjang Marina Bay...lampu di gedung - gedung itu..........

Pas jalan, kami tiba - tiba denger suara - suara musik gitu. Dan temen gue secepat kilat lari. Gue pikir ada razia satpol PP atau penggrebekan teroris, gue ikutan lari. Eh ternyata, doi nggak mau ketinggalan pertunjukan air mancur yang ternyata sedang berlangsung. Mirip kayak di GI, tapi jaoooooh lebih keren. Di danau, malem - malem, terus yang nonton tertib banget, gokil lah pokoknya. Sohib gue ternyata juga belom pernah nonton katanya, pantes dibela - belain lari gitu. Hadeh.
Tapi agaknya cuaca emang belom bersahabat. Tiba - tiba gerimis! Bubarlah semua orang, kecuali gue, yang tinggal kancingin jaket dan pake hoodie, dan sohib gue, yang langsung buka payung. Kami masih stay cool sampai pertunjukan selesai.

Malam udah larut, sohib gue kayaknya udah capek, tapi gue masih bersemangat. Sekilas gue ditunjukin pemandangan Garden by the bay dari jauh, sambil melangkah menuju sebuah mall. Kami mau naik MRT lagi menuju Bugis Street, mau belanja oleh - oleh. Mall ini unik, ada semacam danau kecil dan fasilitas canoe gitu, mungkin menyerupai little venesia tapi indoor. Unik.

Ini di dalam mall lho.........

Setelah perjalanan singkat, kami sampai di Bugis Street.

Pintu masuk menuju perbelanjaan Bugis Street di malam hari yang gerimis....

Kalo menurut gue, ini sih kayak sodara tirinya Pasar Baru Jakarta. Tapi sekali lagi, sodara tiri beda bapak ibu. Penjualnya kebanyakan orang melayu. Tetep nawar sih, tapi ada beberapa yang udah fix price. Nggak perlu takut masalah bahasa, mereka kayaknya udah biasa sama orang yang Englishnya belepotan macem gue, hahaha. Gue nggak belanja banyak, karena hujan turun lebih deres dan jalanan jadi nggak asik, becek. Akhirnya setelah beli tas dan gantungan kunci (HIDUP GANTUNGAN KUNCI!!!!), kami memutuskan berteduh sambil makan di McD. Buat yang tanya berapa rate McD disini, gue bisa bilang rata - rata 5SGD. Sebuah harga yang cukup wow buat ukuran fast food kalo di negara gue tercinta. tapi apa daya, gue nggak tega ngelihat sohib gue yang udah capek banget.
Ada kisah seru di restoran ini. Gue ngelihat pegawai - pegawainya semua udah tua, kakek - nenek gitu. Kata sohib gue, emang kebanyakan mereka yang usianya lanjut kerjanya begituan. Gue seketika itu langsung ngerasa nggak nyaman. Seketika itu juga gue baru sadar, gue udah nggak lagi ada di Indonesia, gue udah nggak ada di negeri gue tercinta. Kalau di Indonesia, mungkin mereka udah menghuni teras - teras rumah sambil leyeh - leyeh dan bergosip. Sedangkan di sini, mereka masih produktif cari nafkah. Ada dua sisi yang gue lihat. Pertama, bener juga sih, usia senja nggak ngebatasi orang buat kerja. Toh, mereka masih kuat dan mungkin mereka masih niat buat cari duit (entah dengan alasan masih merasa sehat atau karena tuntutan ekonomi dan biaya hidup yang super tinggi di SN). Kedua, hati nurani gue yang udah terbiasa dengan lingkungan di Indonesia, yang jarang banget ngelihat nenek - nenek ngebersihin meja restoran. Walaupun nggak jarang sih, di desa - desa atau di pinggiran Jakarta, banyak nenek - nenek yang lebih tragis lagi: lagi nyangkul di sawah pas siang bolong atau lagi ngumpulin sampah sambil narik gerobak atau bahkan berdagang keliling yang hampir nggak dilirik orang (seketika ini gue beneran sedih).

Ada kisah di tiap langkah. Dan inilah poin yang gue dapat. Dimana logika, keinginan dan kenyataan tertampar oleh kenyataan. Satu hal yang ada di benak gue kala itu: gue orang Indonesia, gue bangga, tapi gue nggak boleh sekedar itu. Negeri gue tercinta sebenernya nggak perlu sibuk menyerupakan diri sama negara laen, menurut gue sih, cuma perlu jadi dirinya sendiri, dengan identitasnya, dengan kemampuannya memperbaiki segalanya yang udah rusak parah ini.

I love Indonesia :')


Kembali ke perjalanan gue. Kami tersesat di Bugis Street selepas dari McD. Hujan emang udah nggak turun tapi peta ternyata nggak ngebantu kami yang emang nggak punya tujuan. Dengan langkah berat kami menyusuri jalan, sekedar cari pusat keramaian karena ternyata jalanan kami makin sepi. Dan secara nggak sengaja, di barisan semacam ruko, gue menemukan papan bertuliskan "Cozy Corner". Gue langsung mengenali sebagai salah satu hotel yang sempat gue baca di salah satu situs pemesanan hotel - sebut saja Agoda (Bukan blog berbayar! Ini bukan promo!). Mata gue langsung berbinar! tapi kembali menciut pas tahu keadaan hostel ini. Kecil, agak kotor, daaaaaaaaan vuma ada dua bed kosong di mix dormintory. Sekedar info, dormuntory di SN ada tiga macam: mix, male, dan female. Tau laaaah apa artinya yaaa. Dan di jam 23:50 ini tinggal tersisa yang mix. Sohib gue mngiusyaratkan buat cari - cari lagi, meskipun harga yang ditawarkan cuma 15SGD.

Kami melangkah lagi. Jalanan masih ramai. Ada satu lagi penginapan, namanya Posh Hostel kalo nggak salah. Tapi tarifnya booooooo', dua kali lipat! Dengan berat hati akhirnya kami balik ke cozy corner. Beginilah penampakan dormintorynya, gue dan sohib gue dapet ranjang atas (dengan catatan bahwa gue agak trauma sama ranjang tumpuk macam itu). Gue langsung tepar tanpa ganti baju atau melepas apa - apa (bahkan kami terpaksa tidur pakai hijab). Kami cuma berharap, lelah bakal cepet pergi dan pagi cepet datang.

Salah satu penampakan Dormintory yang kami tempati....

Pukul lima. Gue kebangun dan langsung cari hape. Hostel ini free WiFi, jadi gue bisa akses waktu sholat dengan lancar. Segeralah gue menuju kamar mandi (umum) buat sekedar cuci muka, basuh badan pake tissue basah, gosok gigi, ganti baju dan wudhu. Abis itu sholat trus gue bengong di ruang makan. Di dormintory, kita melayani diri sendiri. Mulai dari ambil makan sampe cuci bekas tempat makan. Gue agak kaget karena ternyata isi dormintory gue itu bule yang mukanya macem - macem (gue ngelirik sambil lewat, mereka masih pada tidur). Gue minta sarapan agak pagi, soalnya mau lanjut perjalanan. Untungnya boleh sama pemilik hostel. Dua potong roti tawar dan secangkir teh. Cukup lah, buat ngeganjel sampe sore, pikir gue. Setelah temen gue bangun, kami dengan ramah berpamitan. Gue overall suka dan puas sama pelayanan hostel ini. Ramaaaaah banget penjaga dan pemiliknya. Harganya juga terjangkau. Kalo buat elo yang mau nginep bareng - bareng di satu dormintory sama temen - temen se-genk, recommended lah tempat ini.

Gerimis masih turun kecil - kecil. Pagi masih gelap. Tapi gue dan temen gue (yang masih setengah ngantuk) udah mulai jalan lagi. Kali ini tujuan kami ke Sentosa. Tau kan, itu tuh, yang sering muncul di iklan. Kami naik MRT ke sana dengan tujuan stasiun Harbourfront.

And 2nd day began..........

Aroma laut menyambut hidung gue begitu sampai di Harbourfront. Pemandangan yang masih sepi, dengan gerimis - gerimis kecil sisa semalam, manis banget jadinya. Ini adalah dermaga yang nanti siang bakal menyediakan kapal buat gue menuju Batam. Loket kapal belum buka, jadi kami memutuskan buat berkeliling dan menuju ke Sentosa.

Bersih dan sepi banget...masih pagi buta, mungkin, menurut masyarata SN,hehehe......

Suasana yang masih sangat sepi ternyata membakar semangat kami buat ngumpulin foto sebanyak mungkin. Hehehe. Tentunya nggak lupa, di depan tulisan "UNIVERSAL STUDIO" yang fenomenal itu. Haha! Karena niat awal gue ke sini adalah travelling murah, gue nggak berniat sedikitpun menjelajahi Universal Studio yang harganya berdollar - dollar. Gue cuma jalan berkeliling daaaaan nyobain naek monorail gratis. (Tetep, gratisan!) Monorail di sentosa emang jadi semacam transportasi penghubung antar wahana, tapi gue memanfaatkan buat sekedar pindah tempat, hehehe.

Di foto dari dalam monorail, penampakan luarnya kayak gini nih....


Stasiunnya nggak pake penjaga...antriannya tertib...

Perjalanan terakhir kami adalah dua store di Harbourfront mall: Daisho dan The Cocoa Trees. Gue kalap di Daisho. Store ini menghargai 2SGD untuk semua barang yang dijual di dalamnya. barangnya uniiiiiik! Lucuuuuu! Muraaaaaaah! (Nggak santai banget pokoknya gue di sini!) Kalo di The Cocoa Trees sih nggak seberapa heboh gue, cuma beliin coklat buat adek gue aja, gue kan nggak begitu suka coklat.

Akhirnya, gue pun beli tiket pulang. Perjalanan gue di SN segera berakhir. Gue dan sohib gue beda kapal, dia ke Karimun, gue ke Batam. Gue naik Batamfast, harga tiketnya 25SGD sekali jalan. Jam berangkatnya cukup sering sih. Untungnya pelabuhan gue sama sohib di tempat yang sama dan jam berangkatnya nggak beda jauh. Jangan dibayangkan pelabuhannya kayak di Indonesia yaaaaa, beda jauuuuuuh booooo'! Mungkin kalo dibandingin yaaa semacam stasiun kereta api Gambir lah, tapi ya jelas lebih rapi dan lebih segala - galanya. Kapal yang gue naiki sejenis ferry penyeberangan gitu. Nyaman, bersih, dan tepat waktu, pastinya.

Kalau lo tanya kenapa gue nggak terbang dari Changi aja, jawaban gue ada dua. Pertama, harga tiketnya pas banget gue dapet yang murah dari Batam (meskipun kalau ditotal sama tiket kapal, nggak beda jauh). Kedua, gue mau lihat kota Batam, sekedar perjalanan dari pelabuhan ke bandara, nggak masalah. Hehehe. Hidup itu pilihan, Sob!

Penampakan si ferry......


Perjalanan singkat gue akhirnya sampai di garis finish. Banyak banget cerita, yang mungkin nggak semua bisa gue tulis detilnya di sini. Foto pun susah gue share karena koneksi internet di kabupaten ini parah banget akhir - akhir ini. Banyak duit yang dikeluarkan, tentunya, tapi sebanding dengan apa yang udah gue dapat. Karena kesempatan nggak datang dua kali dan karena gue udah pernah melewatkan banyak waktu yang berujung pada kata "kenapa dulu gue nggak sempet bla bla bla bla", gue rasa, udah selayaknya gue ngucapin rasa syukur atas keajaiban tiba - tiba yang berhasil bikin passport gue di "stempel". Sebuah hal yang dulu belum sempat gue lakukan semasa gue masih di Jakarta. Hahaha!


Goodbye Singapore! Thanks for amazing less-than-24-hours trip! :))




And see you on the next journey! Thanks for reading! :))

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

REVIEW BUKU: KAMERA PENGHISAP JIWA

Hallo!

Kali ini gue nggak jelasin tentang guide perjalanan atau semacamnya, yang biasa gue tulis di blog. Ada semacam proyek kecil yang akhirnya menuntun langkah gue menuju review buku.

Sebenernya bukan hal asing buat gue, book is my soulmate and book store is my home *tsaaah*. Gue bisa ngehabisin sekian juta menit di toko buku, sekedar baca doang. (Sorry ya mas - mas sama mbak - mbak penjaga toko buku langganan gue dulu. Haha!)

Lupakan kisah gue, sekarang gue mulai review satu buku yang genre-nya nggak asing buat gue: HOROR. Dari segala jenis genre, horor adalah genre yang paling jarang gue beli. Kenapa? Karena gue sering parno kalo bawa buku horor pulang, semacam kebayang - bayang mulu. Haha! Jarang dibeli bukan berarti jarang dibaca, loh! Kali ini,buku baru dari Bukune ini jadi sasaran gue pertama kali bikin review di blog.

Check it out!




Judul: KAMERA PENGHISAP JIWA

Penulis: Ruwi Meita

Penerbit: Bukune

Tahun terbit: Agustus 2014

Jumlah Halaman: 132

ISBN: 602-220-135-7


CEKREEEK!

"Terlambat. Kamera tua itu sudah memotret kamu dan keluargamu. Tidak ada satupun yang bisa selamat." Anak perempuan itu berbicara dengan tatapan kosong. Dia pergi dengan cepat, Anabel tidak bisa menemukannya.
Anabel tidak ingin percaya. Namun, keanehan demi keanehan terus menghampiri. Keluarganya melakukan kegiatan yang sama terus - menerus. Papa berkebun, Mama memasak, dan adiknya bermain trampolin; tanpa makan, mandi, atau tidur! Dan, ah... apa sebenarnya makhluk mengerikan yang dilihatnya itu? Dia menjerat leher keluarga Anabel dan mengambil jiwa mereka....


Cerita singkat:
Anabel dan keluarganya mendapat hadiah dari bos sang papa, Pak Harta Wijaya, yakni berupa liburan di sebuah villa. Awalnya Anabel merasa senang karena ternyata villa itu mempunyai fasilitas lengkap, sesuai apa yang dia dan keluarganya selalu impikan. Namun keganjilan mulai tampak sejak Anabel dan keluarga diminta untuk berfoto bersama di sebuah ruangan yang dindingnya terdapat banyak sekali foto keluarga seperti keluarganya. Mereka difoto dengan menggunakan sebuah kamera Commodor antik. Saat sesi pengambilan foto, Anabel melihat sosok anak perempuan seusianya seperti sedang berbicara padanya. Saat ditanyakan pada sang penjaga villa, ternyata tidak ada orang lain yang tinggal di villa itu. Di saat Anabel larut dalam kegemarannya membuat kerajinan tangan, tiba - tiba saja sosok anak gadis yang dilihatnya di hari pertama muncul lagi. Ternyata namanya adalah Arumi Sheena. Dia memperingatkan Anabel untuk menyudahi kesenangannya dan membawa keluarganya pergi.

Anabel mulai merasa aneh saat dia melihat mama dan papanya asik dengan kegiatan masing - masing. Sang mama terus menerus di dapur karena memang gemar sekali memasak, sedangkan papanya terus - terusan berada di kebun hidroponik. Adiknya, Sigi, juga sangat betah di ruang bermain. Dan Anabel pun melihat ada tali yang seolah - olah mengikat leher mama, papa, dan adiknya. Sebuah tali yang dikendalikan sosok hitam bertubuh tinggi besar.

Singkat cerita, ternyata Arumi sudah meninggal. Dan penyebab dia dan keluarganya meninggal adalah iblis yang ada dalam kamera Commodor di villa itu, iblis yang selama ini juga mengendalikan papa, mama dan adiknya. Ternyata iblis dan Pak Harta wijaya telah mengadakan perjanjian, bahwa harus ada korban yang selalu dipersembahkan kepada sang iblis agar bisnis Pak Harta Wijaya tetap sukses. Anabel dengan susah payah menyelamatkan keluarganya, menghancurkan kamera Commodor itu dan membakar villa. Usaha Anabel berhasil namun di akhir cerita, Anabel menyaksikan sendiri bahwa ternyata di lehernya sedang terikat sebuah tali.



First impression?
Tipis. Banget. Gue adalah penggemar buku - buku tebel. Buku yang cuma setebal 132 halaman ini tentunya bisa gue abisin dalam waktu satu jam. Tapi untuk ukuran keseramannya, jumlah halaman yang tipis ternyata nggak bikin si penulis mempersingkat alur cerita: tetep bikin deg-degan.

How's the book cover?
SEREM. Itu yang gue tangkep. Keempat buku #SeriTakut ini covernya emang dibikin semacam ilustrasi serem - serem gimana gitu. Khusus KAMERA PENGHISAP JIWA, ada gambar kamera Commodor lengkap dengan kain hitam penutupnya. Kesan serem itu makin WOW pas gue udah buka halaman dalamnya. Kertas yang dipakai ditambah ilustrasi "jadul" sehingga kesan horor makin kental.

Karakter?
Gue suka cara penulis menggambarkan karakter - karakter lewat kegiatan yang digemari tokoh, mulai dari Anabel yang suka fotografi, Sigi yang suka trampolin, dan lainnya.

Ending?
Nggak nyangka kalau endingnya begitu. Tadinya udah mikir kalo Anabel dan keluarganya bakal bebas dari iblis, eh ternyata.... (makanya beli bukunya biar nggak penasaran! Hehe)

Kekurangan?
Menurut gue cuma satu yang kurang, yakni adanya setting villa yang justru bisa mengaburkan pembaca. Kalo kurang konsentrasi baca, kesannya justru fokusnya di villa, bukan kamera. Hehe.

Kelebihan?
Bukunya tipis tapi ceritanya nggak diperpendek. Konsep ceritanya sengaja dibikin singkat, jadi pembaca nggak kecewa. Good job, Mbak Ruwi Meita! Kalo menurut gue sih, buku ini juga punya mengangkat urban legend dalam packaging modern. Keren!
Buat yang suka horor, sensasi menegangkannya masih terasa. Dan buat yang nggak suka horor, kesan "hantu" di buku ini dipaparkan nggak seseram di buku - buku lain (yang identik dengan suasana malam, wajah seram, darah, dan rambut panjang) jadi masih "halal" untuk dibaca. Hehehe!

Jadi?
Keseluruhan cerita ini emang fiktif, tapi menurut gue ini ada di kehidupan nyata. Walaupun nggak dalam bentuk "hantu kamera" tapi ajang pencarian "tumbal" sepertinya nggak asing di masyarakat indonesia, bukan?

Buat kalian yang hobi selfie atau fotografi, gue sarankan baca buku ini deh. Biar dapet "sensasi" beda pas foto - foto. Haha!

Sekian review singkat dari gue. Bonusnya, gue cantumin beberapa quote dari buku ini deh:


"Anabel, waktumu tidak banyak. Hati - hati dengan kesukaanmu."


"Jangan terlalu mencintai karena itu hanya akan membunuhmu."


"Semua yang kelihatan, tidak seperti yang sebenarnya."












Saya tantang Fahri - http://handsompret.com untuk membuat foto lebih menakutkan dari ini:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita dari Tana Tidung (3)

Hei!

Lama gue nggak ngeblog. Entah kenapa weekend ini gue mau nulis sekaligus merayakan annyversary lima bulan sudah gue menapakkan kaki di Kabupaten ini. LIMA BULAN. Baru lima bulan ya ternyata, hahaha! *garuk kepala*

Well, gue mau ngelanjutin beberapa kisah yang gue rangkum lagi, di blog gue. Atau lebih tepatnya gue sebut sebagai tweet over 140 characters.



Foto ini gue ambil dua bulan yang lalu, tepatnya pas gue lagi ada kerjaan kantor ke sana. Tepatnya di sebuah desa bernama Bebakung. Gue ambil foto ini dengan kamera hape (nggak pake Camera 360 tapi ya) jadi hasilnya nggak begitu bagus. Maklum, cuma 2Mpx. Gue ngambil foto ini tepat setelah ada ibu - ibu dan anaknya muncul dari belakang bangunan (rumah? bukan. Semacam saung? Mungkin. Entahlah) sambil memakai kain dan membawa gayung. Beliau menyapa gue dengan bahasa daerah, yang gue terjemahkan (gue udah beberapa kali ketemu masyarakat berbahasa yang sama, jadi gue agak familiar dengan istilah - istilah mereka): 
"Hey, what's up? I've been having bath here"
(pastinya gue sendiri yang translate ini pake bahasa bule)

Gue cuma mengangguk dan tersenyum. Gaya khas gue yang gue pake kalo lagi bingung mau ngomong apa. Tahukah kalian, di belakang saung itu ada sebuah sungai yang aliran airnya bisa menghanyutkan motor yang sedang diparkir? Yak, sungai itu entah apa namanya, tapi arusnya kenceng amit - amit. Gue diceritain kalo sungai itu pernah menenggelamkan rumah di satu desa dan menghanyutkan barang - barang mereka termasuk motor. FYI, satu desa di sini nggak lebih dari rumah - rumah kayu yang berjajar di jalanan tanah becek yang lurus (ada sih gang - gang kecil dari kayu gitu, entah itu bisa disebut jalan atau jembatan). Rumahnya ngumpul. Dan hampir semua masyarakat di sana "bersaudara". Artinya, si A adalah saudara dari si B, C, D, sampai Z, yang kesemuanya itu rumahnya ya di situ - situ aja.
Ingatan gue langsung flashback ke kampung gue di tahun 90-an. Dulu gue sering liat di kali kecil deket tanah kosong di kampung, ibu - ibu mandi pake gituan. Eh, ternyata di 2014-an ini ada juga. Dan banyak, Katanya sih, hal kayak gitu biasa di sini. Kamar mandi berjamaah juga biasa. jangan dibayangin sungainya itu jernih macam air di Derawan ya (postingan gue sebelomnya, hehe, promosi sekalian). Air sungai itu warnanya kopi susu. Agak sedikir beruntung karena orang - orang nggak pake air ini buat masak atau minum. Mereka menggunakan air hujan buat masak atau minum.

Nggak cuma desa itu yang kondisi infrastrukturnya kurang bagus. Beberapa yang lain juga sama. Bahkan ada yang belom tersentuh PLN, jadi mereka harus putar otak buat sekedar ngedapetin pasokan listrik. Diesel dan biogas lah andalan beberapa desa yang belom tersentuh listrik itu. Jadi, ya, bisa ngerasain gimana mereka hidup seadanya. Maksud gue, kalo ada solar ya alhamdulillah, kalo lagi susah solar ya sudahlah.

Beralih ke perjalanan jauh gue ke kabupaten sebelah. Gue ngelewatin hutan - hutan yang masih dalam bentuk hutan (menurut lo?!). Gue juga ngelewatin beberapa desa yang menurut gue belom layak dikategorikan sebagai desa. Ada yang cuma terdiri dari satu RT. Yak, satu RT. Bandingkan sama kabupaten di Jawa, mana ada yang cuma punya satu RT. Tapi ya sudahlah, mungkin suatu saat bakalan berkembang. Ya, suatu saat. Entah kapan. Gue cuma bisa memandang miris sama rumah - rumah kayu yang hampir tidak tampak karena pohon - pohon buah yang menutupinya. Kalo lagi panen buah, kayaknya tiap rumah disini pohonnya berbuah berjamaah. Ya, tentunya gue wajib mengenalkan buah yang menurut gue belom sempet gue temui di Jawa: Lai dan Matakucing. Buat yang pengen tau penampakannya, googling aja ya. Lai itu semacam durian tapi nggak lembek. Katanya sih kadar alkoholnya rendah banget dan nggak bikin kolesterol, katanya. Aromanya nggak beda jauh sih sama durian, agak nggak menyengat aja.  Kalo mata kucing itu semacam kelengkeng tapi ukurannya jauh lebih kecil dan biji hitamnya itu jauh lebih gede (mungkin ini sebabnya buah ini disebut "mata kucing"). Bisa dikatakan kalo daging buahnya nggak setebel kelengkeng walopun rasanya nggak beda jauh. Selaen buah - buahan itu, kabuapten ini juga melimpah rambutan, langsat, durian, dan cempedak. Oh, iya, ada durian yang dagingnya merah juga. Untuk masalah harga, asalkan mau ke kebun - kebun, durian sebiji bisa cuma dihargain 3000 perak. Dan kalo rambutan, bisa cukup dibayar dengan "ucapan terima kasih". Hehehe. kayaknya sih bulan kemaren adalah puncak panen buah. di sepanjang jalan, di kebun - kebun, di tanah kosong, bahkan di pekarangan rumah, buah bertebaran. Mulai yang dijual sampe dibagi - bagiin. Gue sendiri sampe mabok rambutan, sampe bosen. 

Oiya, selain buah - buahan, kabupaten ini juga menyimpan potensi perikanan yang menurut gue cukup bisa dikembangkan. Lima bulan di sini, gue lihat sih harga ikan di pasar emang tinggi. Tapi ada yang cerita kalo harga ikan yang dijual di desa - desa "pedalaman" sana jauh lebih rendah, bahkan bisa dibilang jauh dari harga pasar. Dan kerennya lagi, kabupaten ini punya beberapa spesies ikan yang nggak gue temui di pasar - pasar di Jawa. Gue sering banget makan ikan yang belom pernah gue makan sebelomnya. Bentuknya absurd, rasanya aneh. Gue kadang - kadang mikir juga sih, apa ikan - ikan ini udah melalui uji kelayakan konsumsi manusia sampe bisa bertengger di piring makan gue. Tapi yang namanya perut kan nggak bisa mikir, dengan modal bismillah masuklah ikan - ikan itu ke mulut. Hahaha.

Banyak potensi di tempat ini yang sepertinya kurang mendapat perhatian. SAyang banget, sih, menurut gue. Kemajuan pesat emang tampak di ibukota kabupaten, tapi di daerah pinggiran tampak masih kurang. Ibukota kabupaten emang udah full time listrik dan air PAM, tapi daerah sekelilingnya bahkan ada yang masih pake diessel dan air hujan. Ya, maklum, kabupaten baru.

Tapi yang paling gue prihatinkan adalah kehidupan bocah - bocah di ibukota kabupaten ini. Gila, gue geleng - geleng kepala. Anak - anak SD yang mestinya masih maen karet, udah pegang motor sendiri! Mana kalo pake motor ngebut, nggak seimbang, boncengan tiga, nggak pake helm, becandaan pula. Komplit, kan? Kalo tabrakan, yang salah yang nabrak. Bussseeeeeeeet!

Gue pernah emosi sama bocah - bocah yang sok dewasa itu. Suatu hari, gue lagi naek motor, buru - buru, urusan kantor. Eh ada bocah - bocah pake seragam SD, cewek, boncengan tiga, becandaan gitu, kenceng banget motornya dari arah yang berlawanan sama gue. Mereka kayaknya mau belok (tanpa lampu sein), potong jalan gue. Entah ada setan apa di otak gue, gue nggak berniat nge rem. Yang ada di pikiran gue cuma satu: gue tabrak kalian, kalian jera. Beres. Padahal efek yang bakal gue tanggung kalo itu beneran kejadian banyak banget. Satu, itu motor kantor. Dua, gue bisa luka - luka. Dan yang paling gila, gue bisa dipenjara gara - gara menghilangkan nyawa bocah - bocah yang orang tuanya mungkin punya otak lebih nggak waras dari gue waktu itu. Untung beribu untung, motor bocah - bocah itu berenti sebelom motor gue berhasil nyentuh motor mereka. Gue rasa, gas nya mati, tepat saat moncong motornya beberapa senti dan posisi gue yang lewat. Gue akhirnya cuma ngumpat aja ke arah mereka (dan akhirnya gue sadar kalo gue pake helm jadi mereka kayaknya nggak denger apa yang gue omongin, apalagi ngelihat muka gue).

Kecewa. Gue kecewa sama para orang tua di sini, khususnya yang tinggal di sekitaran tempat gue bermukim sekarang. Bocah - bocah kecil gitu dibiarin naek motor, boncengan pula. Nggak cuma satu, dua, tapi udah jadi trend! Oh my, gimana nasib penerus bangsa ini ntar, kalo di kabupaten baru sekecil ini generasi mudanya udah diajarin hal - hal kayak gitu? Sebenarnya apa yang dipikirkan orang tua mereka? Jarak yang jauh, eh? Atau duit yang berlebih? Gue miris, di saat bocah - bocah lain di pinggiran masih jalan kaki buat sekolah, atau sekedar bersepeda ontel, bocah - bocah sekitaran sini udah pamer motor, dengan bangganya bawa motor boncengan bertiga (bahkan pernah gue lihat berempat) ke sekolah. Hello??? Gue speechless. Gue pribadi, lebih sering jalan kaki daripada naek motor. Selaen karena gue nggak punya motor (sehari - hari gue bertugas pake motor kantor), gue juga nggak mau masa tua gue ntar penyakitan. Yak, gue sekalian ngelatih badan biar gerak.Duduk di kantor udah bikin badan gue manja, gue nggak suka. Gue sering ditegur bos, kenapa nggak naek motor aja. Alasan panas lah, jauh lah. Enggak. Selagi gue masih mampu, gue mending jalan kaki. Banyak mata memicing kalo ngeliat gue jalan kaki. Bodo amat! Ntar, gue masih bisa lari - larian, lu pada udah bebaring di rumah sakit kena stroke!!! *evil smlie* *jahat banget gue daritadi*

Indonesia.... Indonesia....

Inilah salah satu faktor kenapa gue nggak simpati sama bocah - bocah di sini, yang seharunya mendapat uluran tangan pemerintah biar makin keren prestasinya. Males gue ngelihatnya. Apalagi anak - anak ABG sok kota yang gayanya udah terpengaruh sama sinetron - sinetron bodoh yang sepertinya ditonton sama orang tuanya. Duh. Miris. Keadaan yang jauh banget sama pemandangan yang gue lihat di desa - desa lain yang ada di pinggiran. Entah gue harus bangga karena gue udah tinggal di ibukota kabupaten yang fasilitasnya udah tergolong enak (NOTED: rumah di kabupaten ini masih 90% berdinding dan beralas kayu juga beratap seng, jadi yang gue maksud fasilitas terbatas pada listrik, air PAM, dan pasar) atau gue harus kecewa karena dengan gue di sini, gue ngelihat kenyataan miris ini.

Ah sudahlah...

Sekian dulu postingan blog gue. Sinyal telk**sel beberapa hari ini agak kacau, takutnya postingan ini keburu nggak kebagian sinyal buat di publish. Hehe.



Sampai jumpa di perjalanan berikutnyaaa.... ^^



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Backpacker Absurd Ke Derawan

Ini adalah perjalanan biasa...dilakukan oleh dua orang biasa...tapi menuju tempat yang LUAR BIASA!


Perkenalkan, gue dan sohib gue adalah dua orang cewek absurd yang nggak sengaja nemuin keberuntungan beruntun sampai akhirnya ombak laut ngebawa kami ke pulau surga yang namanya DERAWAN.


*drum roll*


#DAY1

Ke-absurd-an ini berawal dari kami yang baru aja pulang dari tugas dinas di Samarinda hari Jumat, 6 Juni 2014. Kebetulan kami kerja di salah satu kabupaten di Kalimantan Utara, jadi kalo mau balik ke "kantor" harus singgah ke Kota Tarakan dulu.
Pesawat kami landing sekitar pukul 10.45 WITA. Tujuan kami setelah bandara pasti lah pelabuhan. Jarak dari Bandara Juwata ke Pelabuhan Tengkayu nggak jauh, sekitar setengah jam aja. Untuk pilihan transportasinya bisa naek mobil - mobil carteran atau naek ojek. Kami sih biasanya minta jemput temen. Hehehehe.

Pas di pelabuhan, kami berniat pesen tiket balik, tapi iseng - iseng nanya jadwal keberangkatan menuju Derawan sekaligus harganya. Eh si mbak - mbak penjual tiket malah nawarin kami: "Siang ini ada speedboat reguler perdana ke Derawan."
Kami berdua saling pandang, kemudian hening. Spontan kami senyum dan nanya berapa harganya. Cuma 250 ribu sekali jalan, jadi kalau PP cuma 500 ribu. Tanpa pikir panjang, kami batal beli tiket pulang dan beralih ke Derawan. Padahal kami cuma bawa beberapa lembar sisa baju yang masih belom kepake sisa pelatihan kemaren. yang ada di pikiran kami cuma satu: kesempatan nggak bakal datang dua kali! NEKAT!(Sebenernya sih mumpung kami masih dalam "surat ijin" jadi nggak dianggep bolos kerja. Hahahaha!)

Jadi, sekarang udah ada speedboat reguler rute Tarakan-Derawan PP dengan tarif Rp 250.000 sekali jalan. Tiket PP bisa langdung dipesan biar nggak kehabisan. Tapi rute ini hanya melayani keberangkatan di hari Jumat pukul 2 siang dan balik hari Minggu pukul 2 siang WITA (Kabarnya, jam ini bakal diganti jadi hari Minggu pukul 9 pagi untuk mengantisipasi penumpang yang ngejar pesawat siang/sore).

Dulunya ke Derawan melalui Tarakan hanya dilayani dengan speedboat pribadi yang di carter, bisa sampe 2 juta lebih per boat. Buat kalian yang mau wisata rombongan, nggak campur sama penumpang laen, bisa pakai cara ini. Atau buat kalian yang mau lewat rute lama: Berau (Tanjung Redep) - Derawan, bisa juga sih. Rutenya, dari bandara Berau (Tanjung Redep) langsung ke Tanjung Batu via mobil - mobil carteran, tarifnya antara 70 - 100 per orang lah dengan waktu tempuh 3 jam. Setelah dari Tanjung Batu bisa nyeberang dengan speedboat selama 30 menitan. Saran dari orang Derawan sih, hati - hati dikibulin tukang boat. Jangan mau carteran, tarifnya itung aja per kepala 50 ribu, gitu. Gue sendiri belum coba rute itu jadi rute Berau-Derawan ini gue cuma denger pengakuan orang - orang Derawan aja sih.

Balik ke cerita gue.

Karena gue backpacker absurd dadakan, gue langsung lari - lari menuju speedboat yang ternyata udah penuh orang. Kami harus duduk di bangku "cadangan" deh. Oh iya, buat kalian yang belom pernah naek speedboat, bangku "cadangan" adalah bangku - bangku plastik yang diletakkan di tengah boat. FYI, speedboat itu kan duduknya hadap - hadapan\ semacam angkot gitu.
Kebetulan kemaren itu kami barengan sama tiga rombongan keluarga. Yang pertama adalah penduduk asli Derawan, yang kedua adalah pengantin baru bersama keluarga "super besar"nya, nah yang ketiga kami waktu itu belum tau rombongan apa. Speedboat akhirnya melaju setelah kami datang. Nggak disangka, ombaknya jauh lebih gede ketimbang ombak sungai yang biasa kami lewati menuju kabupaten. Tapi karena kami mungkin sudah terbiasa, tetap aja kami bisa tidur pulas meskipun duduk di bangku cadangan dan ombak yang berhasil bikin beberapa orang mabok. Hahahahaha.

Dua jam berlalu, kami pun bangun. Nggak kerasa, kami udah ada di tengah laut. Tanpa kapal satupun yang nemenin. Hahaha. Nggak lama kemudian keliatan beberapa pulau. Penumpang yang merupakan penduduk asli Derawan tiba - tiba ngomong: "Itu pulaunya, udah keliatan dikit". Ternyata udah keliatan, tappi kecil banget. Barulah 45 menit kemudian pulau itu udah mulai tampak jelas. Spontan kami semua kegirangan kayak anak kecil: "De...Ra...Waaaaaaaan." (maklum, yang pernah tau Derawan ya cuma rombongan orang asli sana, yang laen ya baru pertama kali, hahaha)
Setelah desak - desakan di speedboat, akhirnya terbayar sudah jerih payah kami. Dari kejauhan pulau itu nggak beda dengan pulau - pulau eksotis Indonesia lainnya: menakjubkan. Tapi setelah mendarat dan menjelajahi, ternyata Derawan punya sisi - sisi eksotisme tersendiri menurut gue.

Setibanya di pelabuhan, kami berdua langsung heboh. Seumur - umur gue belom pernah ngeliat laut sebening itu di bawah telapak kaki gue. Emang gue nya aja kali ya yang nggak pernah ke tempat - tempat eksotis, haha! Tapi bener, tetibanya itu kami langsung ambil handphone dan foto - foto dengan kamera resolusi rendah (punya temen gue sih masih bagus 8 Megapixel, lah gue cuma 2 Megapixel, burem! haha!) soalnya emang kami nggak punya DSLR. Kami nggak ribet bawa barang karena emang kami cuma bawa tas punggung dengan isi seadanya tadi. Ini nih beberapa jepretan amatiran kami:


Penampakan kapal reguler yang mengangkut kami (dan banyak orang lainnya)


Our first sunset di dermaga Derawan, sekitar pukul 5 sore (WITA)

Setelah nyampek, suer, kami nggak tau mau kemana. Gue belom sempat blog-walking tentang Derawan, jadi gue juga nggak tau tempat - tempat yang recommended di sini. Hahaha! Untungnya kami ketemu rombongan (yang tadi gue nggak tau rombongan apa itu) dan ternyata mereka rombongan dari instansi sebelah yang juga baru pertama kali liburan di Derawan. Kenalan lah kami sama mereka, lima orang. Akhirnya, kami bertujuh memutuskan buat muterin pulau yang katanya cuma butuh waktu 30 menitan itu (emang bener, cuma 30 menit ternyata setelah kami buktiin). Di perjalanan, gue ketemu spot ini:


Setelah beberapa langkah, ketemu view beginian

Akhirnya kami menginap di penginapan yang berbeda soalnya mereka udah nggak sanggup jalan lebih jauh (maklum, ada yang udah bapak - bapak). Gue dan sohib gue di penginapan Pinades, sedangkan mereka berlima di penginapan Lestari 1. Derawan menawarkan banyak pilihan resort, penginapan, dan homestay. Kalo buat kalian yang berduit atau rombongan, bisa pilih resort agak mewah, rate nya paling rendah (jauh dari tepian pantai) 500ribu dan paling tinggi...entahlah..mungkin tiga juga keatas. Tapi emang eksklusif banget tempatnya. Kayak gini nih:

Resort mewah (ngarep ada yang ngajakin nginep di sini hahaha)

Tapi karena kami hemat budget, jadi kami pilih penginapan murah tapi masih di atas laut letaknya. Pinades namanya, bagian dari Sari Cottage. Semalem yang nonAC plus kamar mandi dalem harganya 200ribu, buat 2 orang tapi pake kasur lantai (tapi kasur lantai yang tebel loh). Kalo Penginapan Lestari 1 yang nonAC cuma 175ribu, kasurnya springbed juga buat dua orang. yang AC 250 ribu. Menurut kami sih Pinades cukup bersih dan nyaman, soalnya ada balkon belakangnya, beda sama Lestari 1. Jadi kalau mau merenung bisa duduk - duduk doang di balkon sambil pandangin tepian. Murah tapi menyenangkan deh. Begini penampakannya:

Penginapan Pinades


Nah ini kamar kami


Pemandangan yang keren dari balkon belakang


View balkon depan kamar

Sekedar saran sih, jangan ke Derawan pas musim liburan. Kata ibu - ibu penjaga penginapan sih, pas musim liburan, orang yang ke Derawan bisa sampai 650 orang. Gue ngebayangin aja, pulau sekecil ini didatengin 650 orang bareng - bareng. Bukan cuma penginapan katanya yang rame, tapi jalanan dan spot - spot keren foto juga. Katanya, penduduk aja sampe miring - miring kalo jalan saking sempitnya. Beruntung lagi gue ke sini pas nggak musim liburan, padahal gue nggak sempet mikir serame itu. Lagipula kalau penginapan dan resort pada penuh, satu - satunya pilihan ya homestay, yaitu rumah penduduk yang dibikin semacam kamar khusus tamu (itu pun katanya juga sering kehabisan). Lebih murah sih, ada yang sampe 100ribu tapi kalo buat liburan kayaknya kurang aja gitu, masa liburan nginepnya di rumah orang. Lagipula kalo homestay umumnya kamar mandinya di luar, kadang campur sama pemilik rumahnya. Kalo buat cewek sih nggak recommended yaaaa kecuali kalo para backpacker bener - bener pengen liburan super hemat. Tapi ada juga homestay yang emang disewain satu rumah gitu jadi bisa buat bareng - bareng, entah berapa harganya gue nggak sempet nanya.

Nyampe di penginapan, kami cuma mikir satu hal: makan. Akhirnya setelah beres - beres, kami mulai menerobos malam buat cari makan. Derawan menawarkan beberapa cafe, kayak gini nih:


Sslah satu cafe yang rame pas malem hari

Tapi karena kami pengen hemat, kami menuju ke warung sederhana aja dan makan nasi goreng. Lumayan kok rasanya. Berdua total cuma 40ribuan.


Warung Bulek Siti, jual macem - macem kok

Abis makan, kenyang, kami balik ke penginapan. Gue menghabiskan malam dengan merenung. Tiba - tiba rombongan berlima ngehubungi kami, katanya besok mau snorkling tapi bayar patungan. Sebenernya kami nggak kepikiran buat snorkling, soalnya pasti nggak bakal mampu nyewa speedboat cuma dua orang aja, Alhasil kami langsung nge-iya-in tawaran itu. Lagi - lagi kami beruntung. Berakhir sudah hari pertama di Derawan.


#DAY2
Kami kesiangan! Padahal mau ngejar sunrise. Cuaca juga lagi mendung. Tapi kami masih ngotot cari sunrise yang menurut perkiraan kami ada di dermaga resort - resort mahal yang kami lewatin kemarin. Emang bener ternyata, sunrisenya masih ada dikit - dikit. Sebenernya di dermaga resort itu ada tulisanya "dilarang masuk selain tamu" sih, tapi karena masih pagi dan lagi sepi banget, kami masuk - masuk aja tuh. Hahaha! Mungkin ceeritanya bakal beda kalo pas musim liburan kali ya..


Jepretan "Late Sunrise"

Karena kami janjian snorkling jam 8 pagi, kami tunda dulu muterin pantainya, balik ke penginapan dan siap - siap. Akhirnya kami ketemu rombongan dan siap naek kapal. Paket snorkling yang kami pakai ini milik Penginapan Lestari, katanya sih 1.750.000 harganya, exclude sewa alat snorkling dan makan siang. Tapi ujung - ujungnya kami total cuma abis 380 ribu include makan malam "super gede" dan sarapan pagi. Gue sendiri nggak tau itungannya gimana, yang jelas ini murah banget, menurut kami.


Penampakan speedboat yang ngebawa kami bertujuh ke pulau - pulau

Ombak yang tenang di pagi hari bikin suasana makin menakjubkan. Laut yang bening dan tenang bikin kami semua speechless. Norak banget, hahaha! Dan kira - kira satu jam lebih akhirnya kami sampai di Pulau Kakaban.

Spot yang difoto sejuta umat kalo pas ke Kakaban

Awalnya kami pikir itu cuma pantai, tapi di dalam hutannya ternyata ada danau yang isinya ubur - ubur nggak menyengat. 

Jalanan menuju danau yang kayaknya licin banget kalo pas lagi hujan

Tibalah kami di danau ubur - ubur dan siap snorkling, Jujur, ini pengalaman gue snorkling pertama kali tapi untungnya gue langsung bisa.


Ini dia danaunya! Gue nggak bisa foto dalam air soalnya nggak punya kamera underwater

Kereeeeen! Tapi geli. Ubur - uburnya dilarang dicium atau dideketin ke kulit muka soalnya bisa bikin agak gatel. Tapi kalo sekedar lewat sih nggak masalah. Cuma ya itu, geli banget apalagi yang gede. Makin ke tengah makin banyak yang gede - gede, hehehe.
Puas maen sama ubur - ubur, kami diajak snorkling. Nggak jauh dari pantai sih, tapi karena masih pagi jadi masih banyak banget ikan warna - warni ngambang. Sayangnya ya itu, gue nggak punya kamera underwater jadi nggak ada dokumentasi. Setelah itu kami balik lagi ke tepian pantai buat foto - foto sambil makan siang.Meskipun makanannya seadanya tapi kalo rame - rame di pinggir pantai pasir super putih dan laut with crystal water gitu rasanya laen! Suer!

Setelah ngisi perut kami lanjut ke pulau Maratua buat ketemu Black Manta, ikan pari yang terkenal itu. Dalam perjalanan, kami ditemenin sama sekawanan lumba - lumba. Yap, bener, kami beruntung lagi. Speedboat kami dikelilingi sekawanan lumba - lumba yang tiba - tiba muncul tiba - tiba ilang sambil atraksi lompat - lompat. Sayang juga nggak ada yang sempat ngambil fotonya, kecepetan dan tiba - tiba sih. Tapi kereeeen!

Kali ini gelombang laut kurang bersahabat, lagi tinggi. Kami udah sampai di spot snorkling Pulau Maratua tapi nggak ada yang berani nyebur. Maklum, belum ada perenang profesional dan kami nggak bawa tour guide. Akhirnya dengan berat hati kami ninggalin sang Black Manta tanpa sempet ketemu.

Perjalanan dilanjutkan ke pulau terakhir yaitu Sangalaki. Lagi - lagi dalam perjalanan kami digiring sekawanan lumba - lumba. Gemes rasanya pengen jepret foto tapi tetep aja nggak kena. Sekitar 15 menit, pulau Sangalaki menyambut kami. Kami langsung menuju ke tempat penangkaran penyu.


Bayi - bayi penyu yang diperkosa tangan - tangan manusia

Gue secara pribadi nyesel sih harus lliat penyu - penyu itu diajak foto sama tangan - tangan manusia sampe ada yang lemes banget penyunya. Gue nggak mau berlama - lama di sana, nggak tega. Lalu gue dan sohib gue jalan - jalan terpisah dari rombongan. Daaaan, kami sampai di "Private Beach"! Kenapa gue sebut gitu? Karena cuma kami berdua yang ada di sana, di sepanjang mata memandang!


Pantai Kosong


Pantai Kosong Lagi


Nah yang ini ada pohon tumbangnya


Yaudah akhirnya gue ngelamun aja

Gue bener - bener nggak mau hengkang rasanya dari pantai ini. tapi sayangnya hari udah sore dan kami semua harus balik ke penginapan sebelum ombak makin tinggi. Tapi mungkin nggak bakal sesepi ini kalo musim liburan ya. Good bye, Sangalaki! :')

Sebelum balik, kami diantar dulu buat snorkling di deket Sangalaki. Tapi ombaknya gede banget. Kami emang nyebur sih tapi pemandangan bawah lautnya nggak seheboh tadi pagi. Kami pun hengkang dan sebelum nginjek pulau Derawan lagi, kami mampir ke pulau pasir, semacam yang di Bangka Belitung itu loh. Gundukan pasir tengah laut. Kayak gini nih:


Berasa diapit dua lautan, haha!

Akhirnya kami balik ke penginapan. Tapi gue yang menggilai sunset masih berniat buat ke dermaga kedatangan yang katanya sunsetnya bagus banget. Setelah lari - larian, ini hasilnya:


Dermaga Kosong


Not a great one but good :)


Dan gue pun ketemu serombongan mahasiswa yang minta difotoin


Dan perjalanan pun berakhir. Capek sih tapi seneng banget! Dan setelah bersih - bersih badan, kami pun menuju rombongan berlima di Penginapan Lestari dan makan bareng dengan porsi jumbo! Lanjut ngobrol - ngobrol santai di depan penginapan mereka sampe malem. Akhirnya kami tidur dengan amat sangat nyenyak. :')

#DAY3

Kali ini kami nggak ketinggalan sunrise lagi! Badan udah fit, kami menuju ke pantai. Keren abis!


Kayaknya kali ini kami justru kepagian soalnya nggak ada orang di pantai kecuali tukang bersih - bersih sampah pantai di pinggiran. Yang gue sayangkan, pengunjung agaknya kurang bijak di pantai. Masih ada sampah - sampah yang bisa ngerusak alam Derawan. Sayang banget. Mental manusia lah yang bikin pantai - pantai eksotis semacam Derawan ini binasa. Apa sih susahnya ngumpulin sampah?

Perjalanan kami berlanjut menyusuri pantai. Burung - burung bangau tebang rendah, hinggap, terbang lagi. Sepi. Nyaman.


 Apalagi yang lo cari kalo udah nemu pemandangan kayak gini?

Kami terus jalan kaki berdua sepanjang pantai. Yaaaa sesekali duduk juga di pinggir sambil ngelamun, terus lanjut jalan lagi. Sebenernya kami ketemu sama rombongan lima orang yang bareng kami snorkling itu, tapi mereka nyewa sepeda sedangkan kami jalan kaki jadi mereka cabut duluan. Sewa sepeda di sana cuma 20 ribu dua jam (bisa lebih sih sebenernya). Kami sih memilih jalan kaki aja biar lebih seru. Dan akhirnya kami singgah di sebuah dermaga kosong. Kami nggak tau fungsinya apa, nggak berniat nanya juga ke penduduk, jalan aja lurus. Eh ternyata itu adalah pelabuhan tempat penyu - penyu nyender. Kami nggak sengaja nemuin lima penyu yang renang - renang santai di sana. Amazing! Berapa keberuntungan yang udah kami dapet? Hahaha!


Lagi - lagi kurang jelas tanpa DSLR

Kami pun jalan lagi, sampe ujung dermaga. Niatnya cuma duduk santai, eh ternyata ada yang aneh sama air di bawah kami. Ternyata sekumpulan ikan kecil lagi ngebentuk barisan dan nggak lama kemudian lompat - lompat indah gitu, semacam atraksi ikan berjamaah. Ohmy...bener - bener kami belom pernah ngeliat itu sebelumnya! (Kami emang norak, hahaha!) Dan kami bengong liat ikan - ikan itu sampe kira - kira satu jam lamanya! Gue ngehubungi rombongan lima orang bersepeda itu soalnya gue berani jamin mereka belom ke dermaga yang ini. Nah pas mereka nyampe ternyata penyunya udah pada ilang. Belum seberuntung kami. Yes! :))

Karena udah siang, kami memutuskan buat sarapan dan keliling toko souvenir buat belanja - belanja pernak - pernik laut sekedar buat oleh - oleh.


Potret jalanan di Derawan

Tepat pukul setengah satu, dengan berat hati kami check out. Berat rasanya buat balik. Tapi gue masih cukup waras untuk kembali semangat ngumpulin duit biar bisa ke sini lagi lain kali.


Last shoot before leaving :')

Good bye Derawan...I'll be back soon :')

SEKIAN


*Thanks banget buat Fufu atas persahabatan dan perjalanannya. Thanks juga buat rombongan Bu Keke dan DSLR-nya*

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS