Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

REVIEW BUKU: KAMERA PENGHISAP JIWA

Hallo!

Kali ini gue nggak jelasin tentang guide perjalanan atau semacamnya, yang biasa gue tulis di blog. Ada semacam proyek kecil yang akhirnya menuntun langkah gue menuju review buku.

Sebenernya bukan hal asing buat gue, book is my soulmate and book store is my home *tsaaah*. Gue bisa ngehabisin sekian juta menit di toko buku, sekedar baca doang. (Sorry ya mas - mas sama mbak - mbak penjaga toko buku langganan gue dulu. Haha!)

Lupakan kisah gue, sekarang gue mulai review satu buku yang genre-nya nggak asing buat gue: HOROR. Dari segala jenis genre, horor adalah genre yang paling jarang gue beli. Kenapa? Karena gue sering parno kalo bawa buku horor pulang, semacam kebayang - bayang mulu. Haha! Jarang dibeli bukan berarti jarang dibaca, loh! Kali ini,buku baru dari Bukune ini jadi sasaran gue pertama kali bikin review di blog.

Check it out!




Judul: KAMERA PENGHISAP JIWA

Penulis: Ruwi Meita

Penerbit: Bukune

Tahun terbit: Agustus 2014

Jumlah Halaman: 132

ISBN: 602-220-135-7


CEKREEEK!

"Terlambat. Kamera tua itu sudah memotret kamu dan keluargamu. Tidak ada satupun yang bisa selamat." Anak perempuan itu berbicara dengan tatapan kosong. Dia pergi dengan cepat, Anabel tidak bisa menemukannya.
Anabel tidak ingin percaya. Namun, keanehan demi keanehan terus menghampiri. Keluarganya melakukan kegiatan yang sama terus - menerus. Papa berkebun, Mama memasak, dan adiknya bermain trampolin; tanpa makan, mandi, atau tidur! Dan, ah... apa sebenarnya makhluk mengerikan yang dilihatnya itu? Dia menjerat leher keluarga Anabel dan mengambil jiwa mereka....


Cerita singkat:
Anabel dan keluarganya mendapat hadiah dari bos sang papa, Pak Harta Wijaya, yakni berupa liburan di sebuah villa. Awalnya Anabel merasa senang karena ternyata villa itu mempunyai fasilitas lengkap, sesuai apa yang dia dan keluarganya selalu impikan. Namun keganjilan mulai tampak sejak Anabel dan keluarga diminta untuk berfoto bersama di sebuah ruangan yang dindingnya terdapat banyak sekali foto keluarga seperti keluarganya. Mereka difoto dengan menggunakan sebuah kamera Commodor antik. Saat sesi pengambilan foto, Anabel melihat sosok anak perempuan seusianya seperti sedang berbicara padanya. Saat ditanyakan pada sang penjaga villa, ternyata tidak ada orang lain yang tinggal di villa itu. Di saat Anabel larut dalam kegemarannya membuat kerajinan tangan, tiba - tiba saja sosok anak gadis yang dilihatnya di hari pertama muncul lagi. Ternyata namanya adalah Arumi Sheena. Dia memperingatkan Anabel untuk menyudahi kesenangannya dan membawa keluarganya pergi.

Anabel mulai merasa aneh saat dia melihat mama dan papanya asik dengan kegiatan masing - masing. Sang mama terus menerus di dapur karena memang gemar sekali memasak, sedangkan papanya terus - terusan berada di kebun hidroponik. Adiknya, Sigi, juga sangat betah di ruang bermain. Dan Anabel pun melihat ada tali yang seolah - olah mengikat leher mama, papa, dan adiknya. Sebuah tali yang dikendalikan sosok hitam bertubuh tinggi besar.

Singkat cerita, ternyata Arumi sudah meninggal. Dan penyebab dia dan keluarganya meninggal adalah iblis yang ada dalam kamera Commodor di villa itu, iblis yang selama ini juga mengendalikan papa, mama dan adiknya. Ternyata iblis dan Pak Harta wijaya telah mengadakan perjanjian, bahwa harus ada korban yang selalu dipersembahkan kepada sang iblis agar bisnis Pak Harta Wijaya tetap sukses. Anabel dengan susah payah menyelamatkan keluarganya, menghancurkan kamera Commodor itu dan membakar villa. Usaha Anabel berhasil namun di akhir cerita, Anabel menyaksikan sendiri bahwa ternyata di lehernya sedang terikat sebuah tali.



First impression?
Tipis. Banget. Gue adalah penggemar buku - buku tebel. Buku yang cuma setebal 132 halaman ini tentunya bisa gue abisin dalam waktu satu jam. Tapi untuk ukuran keseramannya, jumlah halaman yang tipis ternyata nggak bikin si penulis mempersingkat alur cerita: tetep bikin deg-degan.

How's the book cover?
SEREM. Itu yang gue tangkep. Keempat buku #SeriTakut ini covernya emang dibikin semacam ilustrasi serem - serem gimana gitu. Khusus KAMERA PENGHISAP JIWA, ada gambar kamera Commodor lengkap dengan kain hitam penutupnya. Kesan serem itu makin WOW pas gue udah buka halaman dalamnya. Kertas yang dipakai ditambah ilustrasi "jadul" sehingga kesan horor makin kental.

Karakter?
Gue suka cara penulis menggambarkan karakter - karakter lewat kegiatan yang digemari tokoh, mulai dari Anabel yang suka fotografi, Sigi yang suka trampolin, dan lainnya.

Ending?
Nggak nyangka kalau endingnya begitu. Tadinya udah mikir kalo Anabel dan keluarganya bakal bebas dari iblis, eh ternyata.... (makanya beli bukunya biar nggak penasaran! Hehe)

Kekurangan?
Menurut gue cuma satu yang kurang, yakni adanya setting villa yang justru bisa mengaburkan pembaca. Kalo kurang konsentrasi baca, kesannya justru fokusnya di villa, bukan kamera. Hehe.

Kelebihan?
Bukunya tipis tapi ceritanya nggak diperpendek. Konsep ceritanya sengaja dibikin singkat, jadi pembaca nggak kecewa. Good job, Mbak Ruwi Meita! Kalo menurut gue sih, buku ini juga punya mengangkat urban legend dalam packaging modern. Keren!
Buat yang suka horor, sensasi menegangkannya masih terasa. Dan buat yang nggak suka horor, kesan "hantu" di buku ini dipaparkan nggak seseram di buku - buku lain (yang identik dengan suasana malam, wajah seram, darah, dan rambut panjang) jadi masih "halal" untuk dibaca. Hehehe!

Jadi?
Keseluruhan cerita ini emang fiktif, tapi menurut gue ini ada di kehidupan nyata. Walaupun nggak dalam bentuk "hantu kamera" tapi ajang pencarian "tumbal" sepertinya nggak asing di masyarakat indonesia, bukan?

Buat kalian yang hobi selfie atau fotografi, gue sarankan baca buku ini deh. Biar dapet "sensasi" beda pas foto - foto. Haha!

Sekian review singkat dari gue. Bonusnya, gue cantumin beberapa quote dari buku ini deh:


"Anabel, waktumu tidak banyak. Hati - hati dengan kesukaanmu."


"Jangan terlalu mencintai karena itu hanya akan membunuhmu."


"Semua yang kelihatan, tidak seperti yang sebenarnya."












Saya tantang Fahri - http://handsompret.com untuk membuat foto lebih menakutkan dari ini:

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cerita dari Tana Tidung (3)

Hei!

Lama gue nggak ngeblog. Entah kenapa weekend ini gue mau nulis sekaligus merayakan annyversary lima bulan sudah gue menapakkan kaki di Kabupaten ini. LIMA BULAN. Baru lima bulan ya ternyata, hahaha! *garuk kepala*

Well, gue mau ngelanjutin beberapa kisah yang gue rangkum lagi, di blog gue. Atau lebih tepatnya gue sebut sebagai tweet over 140 characters.



Foto ini gue ambil dua bulan yang lalu, tepatnya pas gue lagi ada kerjaan kantor ke sana. Tepatnya di sebuah desa bernama Bebakung. Gue ambil foto ini dengan kamera hape (nggak pake Camera 360 tapi ya) jadi hasilnya nggak begitu bagus. Maklum, cuma 2Mpx. Gue ngambil foto ini tepat setelah ada ibu - ibu dan anaknya muncul dari belakang bangunan (rumah? bukan. Semacam saung? Mungkin. Entahlah) sambil memakai kain dan membawa gayung. Beliau menyapa gue dengan bahasa daerah, yang gue terjemahkan (gue udah beberapa kali ketemu masyarakat berbahasa yang sama, jadi gue agak familiar dengan istilah - istilah mereka): 
"Hey, what's up? I've been having bath here"
(pastinya gue sendiri yang translate ini pake bahasa bule)

Gue cuma mengangguk dan tersenyum. Gaya khas gue yang gue pake kalo lagi bingung mau ngomong apa. Tahukah kalian, di belakang saung itu ada sebuah sungai yang aliran airnya bisa menghanyutkan motor yang sedang diparkir? Yak, sungai itu entah apa namanya, tapi arusnya kenceng amit - amit. Gue diceritain kalo sungai itu pernah menenggelamkan rumah di satu desa dan menghanyutkan barang - barang mereka termasuk motor. FYI, satu desa di sini nggak lebih dari rumah - rumah kayu yang berjajar di jalanan tanah becek yang lurus (ada sih gang - gang kecil dari kayu gitu, entah itu bisa disebut jalan atau jembatan). Rumahnya ngumpul. Dan hampir semua masyarakat di sana "bersaudara". Artinya, si A adalah saudara dari si B, C, D, sampai Z, yang kesemuanya itu rumahnya ya di situ - situ aja.
Ingatan gue langsung flashback ke kampung gue di tahun 90-an. Dulu gue sering liat di kali kecil deket tanah kosong di kampung, ibu - ibu mandi pake gituan. Eh, ternyata di 2014-an ini ada juga. Dan banyak, Katanya sih, hal kayak gitu biasa di sini. Kamar mandi berjamaah juga biasa. jangan dibayangin sungainya itu jernih macam air di Derawan ya (postingan gue sebelomnya, hehe, promosi sekalian). Air sungai itu warnanya kopi susu. Agak sedikir beruntung karena orang - orang nggak pake air ini buat masak atau minum. Mereka menggunakan air hujan buat masak atau minum.

Nggak cuma desa itu yang kondisi infrastrukturnya kurang bagus. Beberapa yang lain juga sama. Bahkan ada yang belom tersentuh PLN, jadi mereka harus putar otak buat sekedar ngedapetin pasokan listrik. Diesel dan biogas lah andalan beberapa desa yang belom tersentuh listrik itu. Jadi, ya, bisa ngerasain gimana mereka hidup seadanya. Maksud gue, kalo ada solar ya alhamdulillah, kalo lagi susah solar ya sudahlah.

Beralih ke perjalanan jauh gue ke kabupaten sebelah. Gue ngelewatin hutan - hutan yang masih dalam bentuk hutan (menurut lo?!). Gue juga ngelewatin beberapa desa yang menurut gue belom layak dikategorikan sebagai desa. Ada yang cuma terdiri dari satu RT. Yak, satu RT. Bandingkan sama kabupaten di Jawa, mana ada yang cuma punya satu RT. Tapi ya sudahlah, mungkin suatu saat bakalan berkembang. Ya, suatu saat. Entah kapan. Gue cuma bisa memandang miris sama rumah - rumah kayu yang hampir tidak tampak karena pohon - pohon buah yang menutupinya. Kalo lagi panen buah, kayaknya tiap rumah disini pohonnya berbuah berjamaah. Ya, tentunya gue wajib mengenalkan buah yang menurut gue belom sempet gue temui di Jawa: Lai dan Matakucing. Buat yang pengen tau penampakannya, googling aja ya. Lai itu semacam durian tapi nggak lembek. Katanya sih kadar alkoholnya rendah banget dan nggak bikin kolesterol, katanya. Aromanya nggak beda jauh sih sama durian, agak nggak menyengat aja.  Kalo mata kucing itu semacam kelengkeng tapi ukurannya jauh lebih kecil dan biji hitamnya itu jauh lebih gede (mungkin ini sebabnya buah ini disebut "mata kucing"). Bisa dikatakan kalo daging buahnya nggak setebel kelengkeng walopun rasanya nggak beda jauh. Selaen buah - buahan itu, kabuapten ini juga melimpah rambutan, langsat, durian, dan cempedak. Oh, iya, ada durian yang dagingnya merah juga. Untuk masalah harga, asalkan mau ke kebun - kebun, durian sebiji bisa cuma dihargain 3000 perak. Dan kalo rambutan, bisa cukup dibayar dengan "ucapan terima kasih". Hehehe. kayaknya sih bulan kemaren adalah puncak panen buah. di sepanjang jalan, di kebun - kebun, di tanah kosong, bahkan di pekarangan rumah, buah bertebaran. Mulai yang dijual sampe dibagi - bagiin. Gue sendiri sampe mabok rambutan, sampe bosen. 

Oiya, selain buah - buahan, kabupaten ini juga menyimpan potensi perikanan yang menurut gue cukup bisa dikembangkan. Lima bulan di sini, gue lihat sih harga ikan di pasar emang tinggi. Tapi ada yang cerita kalo harga ikan yang dijual di desa - desa "pedalaman" sana jauh lebih rendah, bahkan bisa dibilang jauh dari harga pasar. Dan kerennya lagi, kabupaten ini punya beberapa spesies ikan yang nggak gue temui di pasar - pasar di Jawa. Gue sering banget makan ikan yang belom pernah gue makan sebelomnya. Bentuknya absurd, rasanya aneh. Gue kadang - kadang mikir juga sih, apa ikan - ikan ini udah melalui uji kelayakan konsumsi manusia sampe bisa bertengger di piring makan gue. Tapi yang namanya perut kan nggak bisa mikir, dengan modal bismillah masuklah ikan - ikan itu ke mulut. Hahaha.

Banyak potensi di tempat ini yang sepertinya kurang mendapat perhatian. SAyang banget, sih, menurut gue. Kemajuan pesat emang tampak di ibukota kabupaten, tapi di daerah pinggiran tampak masih kurang. Ibukota kabupaten emang udah full time listrik dan air PAM, tapi daerah sekelilingnya bahkan ada yang masih pake diessel dan air hujan. Ya, maklum, kabupaten baru.

Tapi yang paling gue prihatinkan adalah kehidupan bocah - bocah di ibukota kabupaten ini. Gila, gue geleng - geleng kepala. Anak - anak SD yang mestinya masih maen karet, udah pegang motor sendiri! Mana kalo pake motor ngebut, nggak seimbang, boncengan tiga, nggak pake helm, becandaan pula. Komplit, kan? Kalo tabrakan, yang salah yang nabrak. Bussseeeeeeeet!

Gue pernah emosi sama bocah - bocah yang sok dewasa itu. Suatu hari, gue lagi naek motor, buru - buru, urusan kantor. Eh ada bocah - bocah pake seragam SD, cewek, boncengan tiga, becandaan gitu, kenceng banget motornya dari arah yang berlawanan sama gue. Mereka kayaknya mau belok (tanpa lampu sein), potong jalan gue. Entah ada setan apa di otak gue, gue nggak berniat nge rem. Yang ada di pikiran gue cuma satu: gue tabrak kalian, kalian jera. Beres. Padahal efek yang bakal gue tanggung kalo itu beneran kejadian banyak banget. Satu, itu motor kantor. Dua, gue bisa luka - luka. Dan yang paling gila, gue bisa dipenjara gara - gara menghilangkan nyawa bocah - bocah yang orang tuanya mungkin punya otak lebih nggak waras dari gue waktu itu. Untung beribu untung, motor bocah - bocah itu berenti sebelom motor gue berhasil nyentuh motor mereka. Gue rasa, gas nya mati, tepat saat moncong motornya beberapa senti dan posisi gue yang lewat. Gue akhirnya cuma ngumpat aja ke arah mereka (dan akhirnya gue sadar kalo gue pake helm jadi mereka kayaknya nggak denger apa yang gue omongin, apalagi ngelihat muka gue).

Kecewa. Gue kecewa sama para orang tua di sini, khususnya yang tinggal di sekitaran tempat gue bermukim sekarang. Bocah - bocah kecil gitu dibiarin naek motor, boncengan pula. Nggak cuma satu, dua, tapi udah jadi trend! Oh my, gimana nasib penerus bangsa ini ntar, kalo di kabupaten baru sekecil ini generasi mudanya udah diajarin hal - hal kayak gitu? Sebenarnya apa yang dipikirkan orang tua mereka? Jarak yang jauh, eh? Atau duit yang berlebih? Gue miris, di saat bocah - bocah lain di pinggiran masih jalan kaki buat sekolah, atau sekedar bersepeda ontel, bocah - bocah sekitaran sini udah pamer motor, dengan bangganya bawa motor boncengan bertiga (bahkan pernah gue lihat berempat) ke sekolah. Hello??? Gue speechless. Gue pribadi, lebih sering jalan kaki daripada naek motor. Selaen karena gue nggak punya motor (sehari - hari gue bertugas pake motor kantor), gue juga nggak mau masa tua gue ntar penyakitan. Yak, gue sekalian ngelatih badan biar gerak.Duduk di kantor udah bikin badan gue manja, gue nggak suka. Gue sering ditegur bos, kenapa nggak naek motor aja. Alasan panas lah, jauh lah. Enggak. Selagi gue masih mampu, gue mending jalan kaki. Banyak mata memicing kalo ngeliat gue jalan kaki. Bodo amat! Ntar, gue masih bisa lari - larian, lu pada udah bebaring di rumah sakit kena stroke!!! *evil smlie* *jahat banget gue daritadi*

Indonesia.... Indonesia....

Inilah salah satu faktor kenapa gue nggak simpati sama bocah - bocah di sini, yang seharunya mendapat uluran tangan pemerintah biar makin keren prestasinya. Males gue ngelihatnya. Apalagi anak - anak ABG sok kota yang gayanya udah terpengaruh sama sinetron - sinetron bodoh yang sepertinya ditonton sama orang tuanya. Duh. Miris. Keadaan yang jauh banget sama pemandangan yang gue lihat di desa - desa lain yang ada di pinggiran. Entah gue harus bangga karena gue udah tinggal di ibukota kabupaten yang fasilitasnya udah tergolong enak (NOTED: rumah di kabupaten ini masih 90% berdinding dan beralas kayu juga beratap seng, jadi yang gue maksud fasilitas terbatas pada listrik, air PAM, dan pasar) atau gue harus kecewa karena dengan gue di sini, gue ngelihat kenyataan miris ini.

Ah sudahlah...

Sekian dulu postingan blog gue. Sinyal telk**sel beberapa hari ini agak kacau, takutnya postingan ini keburu nggak kebagian sinyal buat di publish. Hehe.



Sampai jumpa di perjalanan berikutnyaaa.... ^^



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS