Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BACKPACKER ABSURD TO MAKASSAR

(For translate in English, just send me your email address)



Baru kali ini, gue sekali nge-trip tapi posting dua kali. Hehe. Gue mau lanjut mengisahkan ke-absurd-an di hari ketiga trip gue. Kali ini, tentang Kota Makassar dan perjuangan kami menaklukannya.

Kami tiba di Makassar pukul dua belas siang dalam keadaan sama sekali tidak siap. Bagaimana tidak, sejak awal kami terpaku pada kegiatan bersama mobil sewaan. Dan ternyata kami harus merelakan mobil itu pergi setelah kami tiba di kota Makassar, tepatnya setelah kami menyewa penginapan.

Tanpa petunjuk, tanpa kenalan, dan tanpa persiapan sama sekali, kami nekat menerapkan ilmu “penduduk adalah peta paling akurat”. Itu sih mau nggak mau kami lakukan karena mau browsing pun nggak cukup dalam waktu semalam karena handphone yang bisa dipakai internetan cuma sebuah (punya gue rusak kena air laut dan punya temen gue yang satunya nggak bisa di-charge) meskipun koneksi internet di Bira kenceng banget. Ya, kami cuma sanggup mencari sebatas penginapan murah.
Sesampainya di Makassar, kami langung menuju penginapan karena nggak mungkin bawa backpack kemana – mana. Kami menginap di wisma Bawangkaraeng dengan tarif amat sangat murah yaitu 150ribu rupiah per malam. Lokasinya cukup strategis, dilewati angkot (yang disebut pete – pete) dan ramai. Jadi pulang malam – malam pun menurut kami masih aman. Hanya saja, ya, fasilitasnya ya sekelas backpacker lah. Jangan berharap lebih. Bahkan kami sempat dihebohkan dengan adegan pintu rusak. Haha. Sayangnya gue nggak sempat ambil foto wisma ini. Kelupaan. Cuma dapat foto dari jendela kamar aja.


Pemandangan dari atap Wisma

Setelah istirahat 15 menit, kami melanjutkan perjalanan yang hampir berantakan. Sisa tenaga kami hanya cukup ke dua destinasi: Rotterdam dan Losari. Bonusnya, kami mau nge-mall di Panakkukang yang katanya mall terbesar di Makassar (karena hidup kami di belantara hutan, mall adalah destinasi yang wajib dikunjungi meskipun nggak beli apa – apa). Cuaca hari itu mendung, sesekali gerimis. Dan di sinilah kami berjuang untuk survive bersama para sopir angkot.

Jujur, kami agak kesulitan menerjemahkan bahasa lokal penduduk. Itulah yang menjadikan kami berkali – kali harus memastikan angkot yang kami naiki benar. Untuk menuju Mall Panakkukang (masyarakat biasa menyebutnya dengan “MP”), dari Wisma Bawangkaraeng harus dua kali naik angkot dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Setelah sampai di Panakkukang (ceritanya ini gue menyempatkan diri servis handphone), kami menuju Rotterdam. Rutenya jauh banget. Dari samping Mall Panakkukang kami harus jalan cari angkot, kalau nggak salah kodenya. Lalu kami oper menuju kawasan yang disebut dengan “Cendrawasih” (entah itu nama kampung atau nama jalan). Kira – kira butuh waktu satu jam lebih, kami baru sampai di Rotterdam.



Benteng Rotterdam dan spot yang difoto sejuta umat


Dalamnya benteng Rotterdam


Suasana Rotterdam sedang ramai. Tapi kami agak menyesal karena museum – museum sudah ditutup gara – gara kami terlalu sore (sekitar pukul empat kami baru sampai di sana). Benteng ini masih cukup alami tapi sayangnya ada tangan – tangan manusia yang sengaja merusaknya.



Tangan siapa hayo yang ngerusak ini?

Dari  Rotterdam kami menuju pusat oleh – oleh yang nggak jauh dari sana. Ada kawasan yang dinamai Sambo Opu, cukup jalan kaki saja dari Rotterdam. Dengan mengucap bismillah, kami memilih salah satu toko yang bernama Toko Ujung sebagai tempat membeli oleh – oleh. Ternyata pilihan kami cukup tepat. Harganya bersaing dan packaging nya bagus. Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Losari, juga dengan jalan kaki.

Gue dulu sempat mendengar “kabar angin” kalau Pantai Losari itu jelek. Tentunya, pas gue ke sana, pemikiran itu masih ada. Dan ternyata benar. Pantai Losari memang nggak seberapa bagus. Tapiii….. SUNSETNYA KEREN! GOKIL! PARAH! (Losari’s sunset is one of the great sunset I ever seen. IMO.)

Kami cuma duduk – duduk di pinggiran jalan yang dipadati dengan tukang jual pisang epe dan jagung bakar selama sunset tapi mata gue nggak sedikitpun berpaling dari maahari yang makin lama makin merah. Subhanallah, gue berasa benar – benar nggak pengen berkedip! Karena gue #sunsethunter garis keras, pemandangan ini adalah best scene sepanjang perjalanan gue yang penuh liku – liku di trip kali ini!




Sunset


Sunset lagi


Lagi - lagi sunset lagi


Sunset dan tongkrongan tepian


Teman gue sempat beli jagung bakar. Dan kami kaget, ternyata jagung bakar di sini udah diiris jadi nggak perlu digigit sama bonggolnya kayak yang biasa gue lihat. Hehe. Sunset di Losari memang menakjubkan. Gue benar – benar speechless, nggak bisa mengungkapkan lewat tulisan. (Lebay, sih, hehe.)

Tujuan terakhir kami adalah balik lagi ke Mall Panakkukang. Dari Losari kami harus naik angkot menuju kawasan “Central” lalu lanjut naik angkot tujuan MP. Perjalanan malam kami ditemani gerhana bulan yang jelas banget bisa kami lihat di langit (sayangnya kamera gue nggak menjangkau penampakannya). Tapi malam itu perjalanan terasa panjang banget, malam minggu kan ramai kendaraan jadi kami hampir menyerah di angkot. Hehe.

Setelah puas makan di MP, kami pun balik ke penginapan. Ternyata angkot sudah tidak ada yang menuju Bawangkaraeng jam segitu, Untung saja, ada rombongan mbak – mbak yang minta antar abang angkot ke suatu tempat dan kami akhirnya barengan sama mereka. Hehe. Syukurlah kami bisa sampai penginapan dengan cepat dan selamat tanpa oper – oper lagi. Tuhan selalu bersama para backpacker yang beriman. Hahaha.

Perjalanan kami di Makassar pun berakhir. Keesokan paginya, kami check-out pukul delapan. Karena katanya menuju bandara bisa naik DAMRI, kami mencoba berjuang menuju halte DAMRI terdekat yang menurut info berada di sekitar RRI. Nah, pas kami naik angkot, abang angkotnya bilang kalau di sekitar RRI nggak ada halte DAMRI. Habis sudah semangat kami dan bodohnya, kami mengiyakan tawaran supir angkot untuk mengantar kami ke tempat terdekat dari bandara yang bisa dijangkau Bus Penjemput Penumpang. Kami pun percaya saja, berhubung nggak sempat browsing lagi dan kondisi badan udah capek. Tapi, lagi – lagi kami dikecewakan angkot. Kami harus oper ke angkot lain entah karena alasan apa dari sang supir. Untungnya, angkot yang terakhir agak sedikit pengertian. Dengan membayar agak lebih banyak dari tarif normal, kami diantar sampai pintu bandara.

Tapi setelah gue pikir – pikir, nggak jauh dari lokasi oper angkot yang terakhir, sebenarnya kami langsung bisa ketemu sama Bus Penjemput Penumpang yang sepertinya gratis itu. Ya sudah, kalau duit harus keluar, mau gimana lagi. Sebanyak 50ribu kami keluarkan untuk ongkos angkot dari Balangkaraegn sampai ke bandara. Kalau dipikir – pikir sih, sebaiknya dari awal kami naik taksi aja. Soalnya, pas kami hitung – hitung, waktu perjalanan kami ternyata lebih dari dua setengah jam. ABSURD! Hahaha! Rasanya pas gue keluar dari angkot (dengan banyak pasang mata melihat ke arah kami) gue pengen teriak: KAMI ADALAH BACKPACKER ABSURD YANG MENYEDIHKAN TAPI TETAP BISA MENIKMATI HIDUP! Ya-Ha!

Begitulah perjalanan kami yang mahal, berliku – liku dan melelahkan. Tapi yang namanya perjalanan, nggak mungkin lancar – lancar aja, kan? Trip sebelumnya pun diwarnai kisah – kisah absurd yang mungkin berguna buat para traveller yang berniat menuju tempat – tempat yang sudah gue kunjungi. Tips selanjutnya dari gue adalah:
1.      Persiapkan selalu rencana cadangan saat travelling.
2.      Kalau memang berniat backpacking beneran, paling tidak kuasai sedikit dari bahasa daerah.
3.      Pelajari rute angkutan.

Sekian perjalanan absurd tapi keren dari gue. Oh iya, satu lagi, pas kami melintasi lautan Sulawesi menuju Kalimantan, gue kembali terpesona sama pemandangan laut di bawah pesawat. KEREN!
Mungkin sekian dulu pestingan gue, semoga berguna buat para pembaca.


Thanks for reading and see ya on the next trip!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BACKPACKER ABSURD TO TANJUNG BIRA

(For translate in English, just send me your email address)


Haloooo! Ketemu lagi sama gue, backpacker absurd.



Ini untuk pertama kalinya gue “sengaja” buat travelling. Maksudnya, gue backpackeran di high season plus ngeluarin ongkos yang mahal. Kalo lo tanya kenapa gue kali ini antimainstream, jawabannya adalah gue nggak tahu. Pokoknya gue tiba – tiba pengen merasakan sensasi travelling di “musim liburan”. Dan, tujuan gue adalah pulau sebelah: Sulawesi. Makassar adalah destinasi yang entah kenapa gue pilih secara random.

Dan kali ini juga, gue dengan sengaja menentang “asas backpacker” yang biasa gue lakukan. Hasilnya? Gue sempat kena masalah. Haha. Gue sengaja booking mobil dan hotel sebelum berangkat. Pertimbangan gue, ntar bakalan kehabisan hotel dan tarif mobil bakalan mahal kalau semua dilakukan di hari-H. Ya, begitulah, gue mengantisipasi segalanya, soalnya gue juga bawa dua orang teman, nggak kayak biasanya.

So, trip absurd kali ini lain dari yang sebelum – sebelumnya. Enak kah? Lancar kah? Kecewa kah? Buat gue, travelling itu semuanya enak. Karena menikmati bumi Tuhan itu nggak ada yang nggak enak. Hehe. Dan inilah perjalanan absurd gue di destinasi pertama.

Diawali ketika si singa mendarat dengan delay seperti biasa, Makassar hujan deras. Untungnya, driver gue udah standby walaupun kami sempat saling mencari di bandara yang sibukya amit – amit. Untuk yang pertama ini, prediksi gue bener. Gue nggak tahu gimana kalau gue masih harus cari mobil di suasana semacam itu dan di cuaca yang nggak mendukung. Perjalanan gue untuk pertama kalinya di pulau ini pun dimulai. Kami langsung menuju Tanjung Bira. Untungnya (lagi) kami udah booking penginapan, soalnya kami sampai di sana hampir tengah malam. Ya, gara – gara delay itu tadi. Tapi nggak masalah. Ternyata penginapannya di luar ekspektasi gue. Kami menginap di Nusa Bira Indah dengan harga 250ribu per malamnya. Gue pikir, lokasi yang agak jauh dari pantai bakal bikin kesan “pantai” di penginapan ini hilang. Ternyata enggak. Bentuk penginapannya mirip cottage gitu, ini pertama kalinya gue merasakan menginap seperti di satu rumah sendiri. Bentuknya rumah panggung, luas, bersih, jauh lebih enak lah dari semua penginapan yang pernah gue singgahi, hehe. Selain itu, di kamar ternyata nggak ada televisi. Itu menyenangkan. Kenapa? Karena liburan itu nggak perlu tontonan.


Penginapan kami. Kayak rumah, hehe.




Ini jalanannya...


Kamar yang masih belum beratakan



Pintu ke kamar mandi, ada jemuran buat baju juga di dalam

Pagi harinya, seperti biasa gue berburu sunrise. Gue jalan – jalan di sekitar penginapan. Ternyata, penginapan di sini banyak banget. Biasanya, di perjalanan sebelumnya, gue berusaha memberi info penginapan – penginapan. Tapi kali ini gue kebingungan, kalo gue fotoin semua, bisa – bisa blog gue ini kayak iklan berjalan. Haha! Cukup beberapa aja ya.
           


Penginapan kami nih.


Penginapan kami (lagi)



Jalanan di depan penginapan


Bira VIew In, penginapan tepat di inggir pantai



Jalanan menuju Amatoa Resort yang terkenal

Dan si sunrise pagi itu masih malu – malu, ditambah gerimis sisa hujan semalam yang masih turun, menghasilkan gambar yang sendu, kayak gini.



Sunrise yang sederhana nan manis



Late sunrise

Lalu, gue dan temen – temen memutuskan buat main air. Pantai masih sepi banget pagi itu. Gue mulai berpikir, apa iya ini high season? Kok gue merasa keramaiannya nggak tampak. Dan meskipun gue mikir begitu, gue tetap menikmati pantai yang pasirnya HALUS BANGET! Gue benar – benar takjub, kok bisa pasir pantai sehalus dan seputih itu. Pantai – pantai sebelumnya juga berpasir menakjubkan, tapi terus terang, Pantai Tanjung Bira juaranya. Haluuuuuuuus! Selain itu, dari tepi pantai juga bisa dilihat gradasi air laut tiga warna. Biasanya gue harus “berlayar” dulu buat ketemu pemandangan kayak gitu. Tapi di sini enggak. Beneran keliatan gradasinya dari tepi pantai.


Gradasi Air Laut





Pantai di pagi yang tenang

Puas di pantai, kami mau snorkling. Awalnya ada bapak – bapak yang menawarkan sewa speedboat harga 600ribu lengkap dengan peralatan snorkling. Tapi kami menolak dengan alasan bapak itu ngikutin kami terus sejak awal kami sampai di pantai. A little bit annoying aja sih. Eh, tapi ujung – ujungnya kami juga menyewa dengan harga yang nggak jauh beda. Sebuah kelotok dihargai 550ribu lengkap dengan alat snorkling. Awalnya, gue sempat menyesal karena salah kalkulasi. Tapi setelah dihibur sama dua temen gue, jadinya malah seneng. Kalau speedboat itu kenceng jalannya, sementara kelotok pelan – pelan, lebih luas pula. Kami memang cuma bertiga, tapi kalau menyewa kelotok yang notabene gede banget, jadinya berasa semacam orang kaya. Soalnya kebanyakan kan yang nyewa speedboat ramai – ramai. Hahaha! Pembenaran aja sih, sebenarnya juga sama aja. Mau kelotok atau speedboat, sama – sama menyenangkan.




Ini nih, kelotok.

Tujuan pertama kami ke Pulau Liukang. Di sini jarak antar pulau nggak sejauh di Derawan waktu itu jadi baru sebentar kami naik kelotok, eh udah sampai. Sebelum ke Liukang, kami snorkling dulu. Terumbu karang di sini nggak kalah sama Derawan. Tapi ikan – ikan di sini lebih beragam dan lebih mau “mendekati” manusia. Ombaknya juga ramah. Cuaca mendukung banget lah buat snorkling.



Makasih buat dua rekan seperjalanan yang rela jadi model, hehe.


Dan pas sampai kami baru diberitahu salah satu pemilik warung makan kalau sebaiknya tadi lebih dulu ke Pantai Bara, baru jalurnya ke Liukang dan lanjut ke Pulau Kambing. Tapi ya sudah, toh pantai Bara bisa ditempuh pakai mobil. Lagipula, bangku – bangku panjang di bawah pohon di tepi pantai yang sepi berhasil membuat kami kegirangan.


FOTO BANGKU DI PANTAI


View from my bench....


Nasi goreng super pedas

Dan kami menghabiskan berjam – jam di sini, cuma foto – foto, ngobrol, makan, dan bengong. Menikmati hidup banget! Kebetulan pas lagi sepi, jadi kami bisa puas di sana, hehe. Makanan di sini juga nggak mahal. Kami memilih nasi goreng seharga 25ribu yang menurut gue sih lumayan enak, banyak pula porsinya. Gue benar – benar nggak pengen waktu cepat berakhir deh pas di Liukang kemarin. J




Liukang yang kosong

Karena kami harus melanjutkan perjalanan, dengan berat hati gue mengucapkan salam perpisahan sama bangku favorit gue di sana. Haha. Kami lanjut ke penangkaran penyu. Ada penyu yang ramah, bisa diajak foto. Buat masuk ke sini, kita perlu bayar 10ribu per orang.



Penyunya gede banget



Bayar 10ribu buat ke sini, hehe.


Destinasi selanjutnya adalah Pulau Kambing yang tak berpenghuni tapi berhasil bikin gue merinding. Bukan, ini bukan tentang mistis atau sesuatu yang menakjubkan. Pulau Kambing itu berupa bukit – bukit batu, karang, dan semacamnya yang dikelilingi laut. Gue merinding karena selama ini selalu pengen lihat batu – batu besar gitu (yang gue asumsikan semacam di Belitung, walaupun beda). Dan bahkan gue pun bisa berenang di celah - celah batu – batu gede itu! Astaga! Keren!


 Pulau Kambing


Celah karang yang bikin merinding.....




Setelah puas, kami memutuskan untuk balik ke Bira. Sepanjang perjalanan, gue benar – benar kagum sama si langit, cakrawala dan gradasi laut. Jujur, view siang yang cerah  waktu itu benar – benar instagram-able. Sayangnya, handphone gue kena air laut (yang akhirnya harus diservis) jadi kamera pocket-lah yang akhirnya jadi saksinya. Sebagai #sunsethunter dan #skylover macam gue, sesi pemotretan “mereka” adalah best view di Tanjung Bira.





Langit


Langit (lagi)



Tepat pukul dua tiga puluh, kami sampai lagi di Bira. Dan lagi – lagi, pantainya kosong. Mungkin karena matahari sedang tinggi jadi orang – orang malas ke pantai, atau justru orang – orang sedang menikmati keindahan di spot lain. Yang jelas, itu menguntungkan kami. Air di siang hari yang sepi benar – benar menakjubkan! Jernih sejernih jernihnya! Pasirnya, yang pastinya halus banget, bikin kami betah.





Crystal water...



Cuma kami pemilik pantai ini, hahahahaha.

Setelah main air di pantai, kami segera membersihkan diri di penginapan dan bersiap menuju pantai Bara yang tadi terlewat. Dengan mobil (yang masih) kami sewa, kami menuju Pantai Bara. Yang bikin gue kagum adalah jalanan menuju ke sana, masih banyak pohon – pohon di kiri – kanan jalan. Seandainya kami punya waktu lebih, mungkin kami bisa tracking di sana.





Jalanan yang teduh

Pantai Bara lebih sepi daripada Bira. Tapi bagi gue, semakin sepi, semakin nyaman buat bersantai. Tapi jangan sekali – kali berharap dapat view sunset di sini ya. Hehe. Di Bara ini, gue melihat beberapa backpacker sejati mendirikan camp – camp. Dan gue beroikir: enak kali ya beneran camping di sini. Haha! Sayangnya, pemikiran gue runtuh seketika pas teman gue tanya: mandi sama BABnya dimana? Hahahaha!





Pantai Bara, hampir sunset

Selepas dari Bara, kami kembali ke Bira dan kaget. Ternyata udah ramai banget. Ini mungkin yang disebut dengan “liburan di high season”. Hehe. Tapi meskipun begitu, kami masih punya spot yang sepi, yaitu jalanan menuju Amatoa Resort yang terkenal itu. Spot sunset di sana juga cukup bagus, dan pastinya nggak ramai.




Sunset dari jalanan Amatoa Resort


Pantai Tanjung Bira yang ramai kala sunset


Malam hari, setelah seharian mood gue super bagus, tibalah waktu dimana mental backpacker gue teruji. Pertama, kami lapar dan lima restoran yang kami datangi pelayanannya mengecewakan: LAMA BANGET. Ternyata, sebaiknya kami pesan terlebih dahulu, terus ditinggal jalan – jalan, dan balik beberapa saat (mungkin beberapa jam) setelahnya. Untungnya, sebuah warung Jawa Timur menyelamatkan kami. Nah, kejadian kedua, gue kena masalah. Nggak perlu gue sebutkan karena menyangkut beberapa pihak, tapi cukup gue jadikan pelajaran buat trip gue selanjutnya. Akibat dari masalah yang kedua ini, akhirnya kami memutuskan untuk pagi – pagi balik ke Makassar (dengan berat hati) dan merelakan Tebing Aparalang dan tempat pembuatan perahu Pinisi yang nggak sempat kami kunjungi. Sedih sih, tapi perjalanan setelah ini jauh lebih absurd dan super menyenangkan buat para #sunsetlover macam gue. Sebelum gue lanjut ke tulisan gue tentang seharian di Makassar, ada titipan iklan nih, buat yang mau berencana trip ke Tanjung Bira, bisa menghubungi Daeng di 081340501506.
(Terima kasih buat semua pembaca yang akhirnya membuat blog ini diminati, makasih banget!)

Oh iya, gue mau bagi – bagi beberapa tips penting buat kalian:

  • Kalau berencana pergi backpacker pakai jasa sewa mobil atau travel, pastikan elo punya bukti fisik tentang perjanjian / kesepakatan dengan pihak mereka tentang harga, destinasi, dan sebagainya. Kalau bisa sih buktinya di print DAN disimpan baik – baik.
  • Jangan takut backpackeran di high season. Para wisatawan sepertinya masih pilih – pilih waktu khusus dari 24 waktu yang mereka punya. Pintar – pintar aja cari waktu yang kira – kira bikin destinasi kalian agak sepi. Misalnya, tengah hari bolong di pantai. Hehe.
  • Jangan lupa tanyakan rute – rute perjalanan kalau ada lebih dari satu destinasi. Gue misalnya, sempat salah rute pulau (walaupun akhirnya bisa dikunjungi semua).
  • Persaingan para pedagang, pemilik perahu, pemilik hotel, dan pemilik travl / sewa mobil di tempat wisata yang sudah ramai seperti Tanjung Bira cukup ketat. So, siapkan mental yang kuat dan pandai – pandailah bernegosiasi dengan mereka.
  • Kabarnya, ada pantai di sekitar Bira yang masih perawan, namanya Pantai Timur. Jangan lupa dikunjungi dan tulis di blog juga tentang keadaan di sana, oke! J




Sekian dulu postingan tentang Tanjung Bira. Sampai bertemu di keabsurdan gue di Makassar on the next post. See ya!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS