Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Sebuah cerita dari Tana Tidung (1)

Sampai sudah keinginan gue buat nulis di blog kesayangan setelah hampir seminggu menyiapkan mental untuk sekedar nulis.
Adakah dari kalian yang mencari artikel atau sekedar tulisan ringan tentang salah satu kabupaten di Kalimantan Utara ini?
Gue harap, kalau benar kalian mencari, kalian bisa menemukan hal yang lebih dari yang pernah gue temukan. Hahaha.
Tidak banyak yang memberikan pubilkasi tentang wilayah ini. Karena ya mungkin orang jarang tertarik ke sini kalo nggak "terpaksa" kayak gue. Ya, gue penempatan kerja di kabupaten ini.
Sebagai orang rantau, pertama kali gue shock banget ngeliat keadaan kabupaten ini. Bisakah gue sebut ini sebagai "just a big village"? Bukan kayak kabupaten, apalagi kota.
Perjalanan gue dimulai dari bandara Juwata Tarakan, lanjut ke pelabuhan. Ya, gue naik kapal motor yang kalo nggak salah namanya KM Mutiara. Dengan susah payah karena bawaan banyak, sampai juga gue duduk di kapal motor yang panasnya ampun deh itu. Sebuah pengalaman gue dapat di sana. Keramahan orang - orang. Gue kebetulan duduk di depan mas - mas dan di sebelah mbak - mbak yang tau tempat kerja gue. Mulailah mereka berkisah. Sepi. Selalu itu yang mereka katakan untuk pertama kali. Yang kedua, mahal. Ya, waktu itu mereka bilang harga di sini amat sangat mahal. Seiring dengan melajunya KM Mutiara, gue merenung sambil pandangin air laut yang kemudian ganti menjadi air sungai yang coklat, tentunya dengan pandangan nanar. Kemana gue setelah ini sebenernya?


Pemandangan sore itu tidak cukup menarik. Hanya air. Dan hamparan hijau, entah pohon apa saja itu yang diselingi dengan tumbuhan mangrove. Banyak asumsi yang berkelana di pikiran gue. Sesekali gue ngeliat orang - orang di kapal, banyak yang udah nunduk tidur. Dan sepertinya gue juga mengalami hal yang sama beberapa saat kemudian. Gue ketiduran, sampe kebangun di salah satu pelabuhan kecil. Udah dua jam gue ngambang di sungai. Belom sampai juga. Itu bukan pelabuhan kecamatan gue. Dermaganya kecil, seadanya. Gue mikir, apa dermaga gue ntar juga gitu?
Lanjut perjalanan 45 menit lagi, gue sampai di dermaga tujuan. Ternyata agak gede, meskipun yaaa, tetep seadanya. Buat yang belom pernah naek kapal motor, mungkin agak bingung gimana cara keluar dari kapal motor yang gue naikin ini. Hahahaha.
Sampai di situ gue dijemput bos. Ternyata kantor gue nggak jauh dari pelabuhan.
Jangan ditanya gimana kesan gue pertama kali. PASTI, shock. Sepi. Ya, bener. Emang sepi banget, bahkan di pelabuhan. Sebelum gue hilang kesadaran *apasih Ndah* si bos buru - buru ngajakin gue ke rumah salah satu rekan kerja buat nginep malam ini, berhubung gue nggak bisa nginep di kantor.
Sepanjang perjalanan ke rumah rekan gue itu, gue tertegun. Hampir semua bangunan terbuat dari kayu. Ya, wooden wall. Termasuk kantor gue. Entahlah, yang satu ini di luar bayangan gue sebelumnya. Hampir semua referensi yang gue dapet di google nggak menyebutkan hal ini. Tapi memang sih, kayu - kayu di sini amat sangat bagus kalo dijadiin rumah. Nggak keliatan seperti rumah yang dari kayu, udah banyak yang modern desainnya. Tapi ya, masih ada yang modelnya kayak rumah jadul gitu sih. Bukan itu masalahnya, gue sedang mempertanyakan, kenapa di Jawa nggak bisa kayak gini juga? Hutan yang minim? Bukankah Indonesia itu kaya? Ah sudahlah.
Okelah, gue nyerah. Gue udah mulai hopeless. Si bos lebih bikin gue galau lagi. Dia membenarkan kalo harga di sini selangit. Semangka bisa 20 ribu lebih sebutir. Dan gue ngebuktiin, makan nasi pake ayam goreng di warung pecel lele harganya 30 ribu rupiah! *kalo dibandingkan sama makan di mall di Jakarta, cita rasanya beda tapi harganya sama* #AkuRapopo



Satu lagi, tanpa persetujuan dari siapapun, gue memproklamirkan daerah ini memang sepi. Yak, sepi. Apalagi kalo udah mulai malem. Malam pertama gue nginep di tempat ini, astaga, di bawah bukit yang, ah sudahlah. Jangan dibayangkan kayak di puncak Bogor yang sejuk dan nyaman. Di sini benar - benar perbukitan yang seperti menyangga rumah - rumah penduduk yang terbuat dari kayu. Kalo siang panas banget, kalo malem dingin banget. Dan selama hampir seminggu gue stay di sini, cuma semalem yang nggak hujan. Hahaha. Untungnya, gue ternyata nggak tinggal di deket bukit itu. Gue dapet kos - kosan sederhana deket kantor.

Awalnya gue merenung, kenapa gue harus di sini.
Tapi semesta menjawab: iya, lu harus di sini.

Suatu pagi yang gerimis, gue berangkat ngantor.
OH MY GOSH, ini bener - bener aroma yang gue cari!
Hujan, tanah basah, rumput, ah KEREN!
No pollution! Sama sekali! Bau rumput dan pohonnya masih alami, banget! Beda sama atmosphere pulau Jawa, pun itu di pegunungannya. Entah aroma apa ini, tapi ada yang berbeda.
Dan begitu sore harinya gue bisa menyaksikan senja yang indah dari atas bukit. Sayang, kamera gue nggak begitu bagus nangkep remang - remangnya. Nggak perlu jauh - jauh "mendaki" juga karena di sini kan emang perbukitan, hahahaha. Gue nggak nyangka tempat ini ada bagus - bagusnya juga. Mungkin karena gue suka senja. Dan aroma seperti ini. Seperti Jawa, di tahun 90-an, mungkin. :))

Dari kabar yang gue dapet dari rekan  kantor sih, masih ada yang lebih menakjubkan di sini. Di bukit - bukit lain. Someday, gue bakal kisahkan lagi.
Sebagai orang kota yang haus aroma alam, gue rasa semesta emang manggil gue buat ke sini sejenak, beberapa saat, buat sekedar detoks dari polusi - polusi or just to refresh my mind.

Meskipun keadaan yang masih "alami" banget, tapi ternyata tempat ini nggak se"desa" yang gue pikirkan. Listrik udah nyala 24 jam, air ngalir lancar dan bisa juga ditambah dengan air tadah hujan yang "disaring" sama tangki yang disebut masyarakat dengan sebutan "profil". Dan yang paling menyenangkan, sinyal handphone masih bisa nangkep HSDPA/3G! Nggak cuma ngeblog, streaming pun lancar all day di sini. Makanan juga tersedia 24 jam, asal punya kocek lebih sih nggak masalah. Penginapan dan kos - kosan juga banyak tersedia, ya, meskipun kayak yang gue bilang tadi, kebanyakan masih berdinding dan berlantai kayu sederhana. Cuma satu yang kurang, nggak ada angkutan umum di sini. Begitulah, mau nggak mau lu harus bisa drive sendiri, entah motor atau mobil. Lebih seru lagi kalo lu suka off-road. Masih banyak jalanan yang "cocok" buat lu. Hahahaha!

Terkadang, manusia mengeluh pada apa yang tidak sesuai dengan keinginannya. Tapi manusia lama - kelamaan juga akan sadar, Tuhan sayang padanya. Apapun yang ternyata digariskan Tuhan, pasti ada maksud tersembunyi di dalamnya. Dan Tuhan tidak pernah bermaksud buruk. Tidak pernah.

Kesimpulannya, gue masih beruntung.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Surat dari Semesta

Ini bukan tentang kehidupan percintaan, bukan pula tentang kehidupan pribadi gue. Ini tentang hubungan gue dan semesta.
Kenyataan mengharuskan gue untuk move on ke tempat ini. Sebuah desa yang dipaksa mekar menjadi sebuah kabupaten baru di Borneo. Bukan hal penting kenapa gue bisa terdampar di sini, tapi yang jelas, ini bukan kemauan gue. Ini kemauan Tuhan.
Berangkat dari keengganan, akhirnya gue menginjakkan kaki di sini. Setelah mengapung di udara dan air sungai, gue sampai di pelabuhan sebuah negeri kecil. Kenapa gue sebut ini sebagai negeri? Karena inilah Indonesia, yang dulu pernah gue kenal sewaktu gue masih pakai pakaian merah putih dan bawa botol minum kemana - mana. Ya, kabupaten ini begitu mengerikan untuk pendatang, apalagi yang terbiasa hidup di Jakarta seperti gue. Tapi gue berusaha tetap melangkahkan kaki, menyusuri jalan raya yang menurut gue lebih mirip jalanan tanah desa - desa di Jawa.
Gue melempar pandangan. Waktu itu senja. Gue sangat suka senja. Keindahan sesaat yang dinanti banyak orang, sementara waktu datangnya tidak menentu. Tapi kali itu gue tidak mendapatkan senja, mendung. Alam seperti berkata, gue mencoba menerjemahkan tapi gagal. Lebih jauh gue menyusuri jalan, gue lihat hutan - hutan yang tak lagi perawan. Pohon ditebang dengan tidak manusiawi, tanah dibiarkan kosong tanpa ada yang tumbuh di atasnya. Tanahnya yang merah terlihat jelas tanpa akar dan batang pohon, mungkin seperti tanah neraka. Kering. Jalan yang gue tapaki makin menanjak naik. Daerah ini memang perbukitan yang cukup terjal. Gerimis mulai menyapa gue ketika gue mencapai puncak salah satu bukit.
God.....
Inikah pertanda kenapa gue harus di sini?
Hamparan mendung yang terlihat seperti payung langit yang berstrata, hutan - hutan hijau yang mulai basah, ditambah pemandangan sungai lebar yang berkelok - kelok. Gue merinding. Gue bakal tinggal di tempat ini. Dan gue mulai merasakan semesta memberikan isyarat di kulit gue. Isyarat untuk menjaga mereka yang tinggal beberapa ini. Isyarat untuk tetap ada di sini, bersedia membuat semesta yang sudah hampir jatuh agar bisa tetap berdiri.
Gue menghirup oksigen, mencoba mengalirkan suara semesta ini ke arteri - arteri tubuh. Gue biarkan isyarat semesta mengendap di aliran darah gue. Gue sekarang seperti terikat pada sebuah perjanjian.

Gue harus menjaga semesta.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS