Oleh : INDAH "chy". Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

BACKPACKER ABSURD TO BELITONG

HAAAAAAAAAIIIII




Satu kata yang bisa gue ucapin buat membuka tulisan ini: ALHAMDULILLAH.
Sejujurnya gue udah hopeless di 2016 ini nggak bakalan nge-post travelling absurd lagi karena banyak “cobaan”. Ternyata dengan tanpa persiapan apapun, terkabullah permintaan gue buat backpackeran absurd lagi.

Oke, langsung aja. Check this out.


Gue memutuskan ke Belitung dalam waktu kurang dari 12 jam. Ide ini tiba2 aja muncul ketika gue pengen memanfaatkan dua hari kejepit buat liburan bareng teman gue. Kebetulan ada diskon 17-an di salah satu website penyedia jasa perjalanan (sebut saja tik*t.com). Perjalanan gue kali ini nggak cuma tanpa persiapan sama sekali, tapi juga berada di high season dan di cuaca yang nggak menentu. Sesungguhnya gue berangkat tanpa berpikir, so semoga ini bisa jadi referensi buat lo semua dalam merencanakan perjalanan yang lebih baik karena modal gue cuma browsing beberapa blog. Gue pun akan menyertakan beberapa alternatif pilihan dalam trip, seperti biasa.


Hari keberangkatan:
Gue berangkat dari Jakarta pada hari Sabtu. Gue berangkat dari Tarakan (karena memang bandara terdekat dari tempat kerja gue ya bandara di Tarakan). Gue dapet penerbangan malam sehingga seperti biasa, goncangan akibat turbulensi di pesawat Singa berhasil bikin jantung gue seolah – olah lepas.


Bandara Soeta yang Kosong

Gue mendarat jam 9 malam di Jakarta dalam keadaan hujan deras. Dan memang sejak awal gue berencana buat nginap di bandara, demi penghematan budget. Sasaran pertama gue adalah restoran fastfood. Ternyata disana kami cuma bisa numpang sampai jam 11 malam. Sementara di luar masih hujan dan dingin, gue mulai cari tempat yang agak anget. Gue baru bisa check in jam 3 pagi jadi selama beberapa jam gue harus mendapatkan tempat berlindung buat tidur sebentar. Tiba – tiba aja ibu – ibu penjaga toilet bilang “Mbak tidur di sini aja, aman kok.” Sambil menunjuk corner toilet yang bersih dan nggak bau. Akhirnya gue memutuskan buat tidur di toilet, sebuah hal yang mungkin nggak bakalanan dilakukan oleh orang yang merasa jijik dengan makna toilet. But at least toilet yang gue pilih nggak kotor atau bau sedikitpun. Gue bisa tidur dengan nyaman dan aman, karena gue dan temen gue sama – sama cewek yang bagaimanapun juga masih punya insecuritas yang tinggi kalau tidur sembarangan. Gue menganggap ini keberuntungan pertama.


Hari pertama di Belitung:
Gue terbang dengan flight paling pagi, pukul 7 pagi gue udah mendarat di Belitung. Dan perlu kalian tahu, beberapa blog yang gue baca menyebutkan bahwa mereka ikut open trip, travel agent atau minimal udah pesan mobil dan hotel sebelumnya, kalau nggak pada punya kenalan orang lokal. Tapi gue sama sekali nggak memilih saran para blogger itu. Gue mendarat tanpa rencana.


Bandara Belitong

Sebenernya udah berusaha cari sesama nekat traveller tapi keburu disamperin sama sesosok cowok, kayaknya masih lebih muda usianya dari gue. Seorang sopir mobil yang menawarkan jasanya.
Gue ditawarin jasa persewaan. Karena gue udah baca beberapa itinerary, gue coba tes aja sopir itu, cari untung apa memang niatnya kerja sekaligus bantu – bantu traveller yang get lost kayak gue tanpa mengambil banyak keuntungan.
Alhasil, gue deal menggunakan jasa dia. Sepertinya memang tarif lokal yang disamakan: 500 ribu full seharian kemana aja. Dan enaknya, si sopir ini ngerti banget kalau duit kami terbatas dan kami cuma 2 hari di Belitung.

Kami pun diantar ke sebuah penginapan yang nggak jauh dari bandara. Nama penginapannya penginapan Surya.


Penginapan Surya


Jalanan di Depan Penginapan ketika Pagi Hari

Penginapan ini menyediakan tarif super murah, dengan konsekuensi kamar mandi di luar. Sebenarnya ada penginapan lain yang tepat di depan penginapan Surya tapi tarifnya sedikit lebih mahal. Setelah mengamati keadaan penginapan, ternyata nggak seburuk yang gue bayangkan. Kami pun akhirnya memilih tarif 120 per malam dengan fasilitas AC. Kalau nggak salah ini harga yang ditawarkan:

Double bed fan: 100k
Double bed AC: 120k
Double bed AC + kamar mandi dalam + TV: 200k

Sorry, kali ini gue lupa ngambil foto kamar penginapan. Hahaha. Tapi tempatnya recommended kok. Asal mau kamar mandi luar aja sih.
Selepas kami menaruh barang – barang, kami segera melanjutkan perjalanan. Tapi kali ini gue nggak nurut sama itineray yang biasa dilakukan di open trip. Karena kebetulan cuaca cerah banget, gue memutuskan buat wisata bahari dulu. Yak, gue memutuskan buat basah – basahan, keliling pulau dan pantai.

Kak Nofri (nama driver kami, gue panggil Kak karena dia panggil kami Dek) mengantarkan kami menuju Tanjung Kelayang, starting point untuk island hopping. Selama perjalanan gue mengaku sebagai traveller dari Jakarta so Kak Nofri menceritakan banyak hal yang menurutnya sangat jauh berbeda antara Jakarta dan Belitung (kalau gue ngaku gue berasal dari hutan yang bahkan jauh lebih sepi daripada Belitung, ceritanya jadi nggak seru, ya kan? Haha).

Selama perjalanan, Kak Nofri banyak cerita tentang beberapa info nih. Bulan November sampai Maret di Belitung sedang mengalami musim Barat alias musim penghujan sehingga air laut sedikit keruh. Banyak wisatawan yang kecewa karena tidak mendapat pemandangan yang bagus. Bukan karena objek wisatanya jelek tapi mereka memang tidak datang tepat waktu. Alam pun memiliki siklus kehidupannya sendiri. Manusia yang bijak tidak seharusnya semena – mena menyalahkanalam. So, lebih baik travelling di luar kedua bulan tersebut.
Sesampainya di Tanjung Kelayang kami langsung bertemu dengan pemilik persewaan perahu. Kak Nofri sepertinya sudah punya langganan nih buat sewa perahu untuk Island Hopping. Sayangnya, sewa perahunya nggak seperti yang tertulis di beberapa blog. Entah ini musim liburan atau emang gue yang nggak pinter nawar, gue kena IDR 500.000 untuk satu perahu. Eits, perahu di sini bukan speed boat seperti yang gue ceritain di cerita Derawan sebelumnya ya. Perahu di sini seperti cerita gue pas di Biduk – Biduk, namanya perahu Kelotok. Orang – orang menyebutnya perahu motor.
Sebenarnya pemilik Hotel sudah memberitahu kami untuk menunggu rombongan lain yang barangkali mau menampung kami. Akan tetapi sepertinya kami sudah telat, para rombongan sudah berangkat dengan perahu masing – masing. Ya, memang wajar karena biasanya rombongan melakukan Island Hopping di hari kedua sehingga mereka sudah berangkat lebih pagi sementara kami melakukan hal yang antimainstream.

Well, kami nggak mau lama menunggu. So, dengan berat hati kami menyewa satu perahu HANYA untuk berdua, padahal sebenarnya muat untuk 10 orang lebih. Orang kaya, nggak tuh, gue? Hahahahahaha.
PICT tanjung kelayang
Berangkatlah kami ke pulau pertama. Namanya Batu Garuda. Kalian nggak bisa turun menjelajah pulau ini, cuma bisa foto – foto dari perahu. Kata motoris perahu kami sih, batu – batu besar itu bentuknya seperti Garuda. Memang batu – batu besar ini begitu eksotis, tapi gue sama sekali nggak nemuin dimana sisi garuda-nya. Mungkin gue kurang detail, sih. Tapi cukup menarik, meskipun hanya menikmati dari perahu aja.

I am so sorry because I’ve got a trouble on my camera while capturing this place. So all pictures on this place was lost.

Next, kami menuju pulau lain. Namanya Pulau Pasir. Sebenarnya di pulau ini tidak begitu menarik, hanya gundukan pasir. Terlebih lagi sedang musim liburan jadi gundukan itu terlihat sempit sekali, dipenuhi oleh orang – orang bertongsis dan berDSLR. Di sana kami bisa berfoto dengan bintang laut. Ah, lagi – lagi gue nggak suka tindakan manusia yang seperti ini. Penyu, bintang laut, kerang, karang, dan segalanya, gue nggak setuju kalau mereka harus “dipegang” oleh tangan manusia. Tapi, ya, demi tujuan komersil, apapun dilakukan.
Tapi tenang, meskipun Pulau Pasir ini nggak begitu menarik, tapi pemandangan sepanjang perjalanan menuju ke sana benar – benar menakjubkan. Biru, biru, dan biru. Gradasi air laut, ombak yang tenang, ditambah batu – batu besar yang menyatu dengan langit. The real Vitamin Sea lah!


Pantai Kelayang, starting point buat Island Hopping



All Blue


Setelah dari Pulau Pasir kami lanjut berkelana ke pulau yang jadi icon di Island Hopping Belitong. Yak, Pulau Lengkuas. Perjalanan ke sana termasuk yang paling lama. Tapi aseli, gokil parah. Dari kejauhan bisa dilihat mercusuar tinggi menjulang, ditambah kapal – kapal yang berjajar rapi. Sebenarnya di Pulau ini ada beberapa pilihan kegiatan: snorkling, menjelajah mercusuar, menaiki batu – batu besar, atau sekedar bermain di pantai.

Karena perut kami meronta ingin diisi, kami memilih menuju pantai untuk makan. Oh, iya, FYI nih, di beberapa pulau yang menjadi tujuan Island Hopping ini hampir tidak ada restoran. Hanya ada satu resto yakni di Pulau Kelayang (nanti bakalan gue ceritain), itupun mahal. Sedangkan di Pulau Lengkuas sendiri kami hanya menjumpai pedagang minuman dan makanannya cuma p*pmie. So sebaiknya kalian yang mau menjelajah pulau – pulau, bawa makanan sendiri ya, sekedar mengganjal perut agar nggak kelaparan.


Balik lagi ke Pulau Lengkuas. Setelah kami kenyang makan mie, kami beristirahat sebentar sebelum melanjutkan kegiatan mendaki mercusuar. Di Pulau ini ada mercusuar yang masih dipakai dengan tinggi 18 lantai. Awalnya gue nggak yakin bakalan bisa sampai ke puncak mengingat akhir – akhir ini gue jarang olahraga.

Sebelum masuk mercusuar, kami diwajibkan melepas alas kaki dan membersihkan sisa – sisa pasir. Oh iya, pengunjung berbaju basah dilarang masuk ke mercusuar ini loh. Kami juga membayar biaya restribusi sebesar IDR 5.000.

Mercusuar ini terlihat biasa saja, hanya ada ruangan kosong dan tangga yang sepertinya licin banget ketika hujan. Tapi pas gue melongok ke jendela di lantai ke-5, gue baru sadar kalau yang indah bukan mercusuar-nya tapi pemandangan yang terlihat dari atas.
SUPER SEKALI!


Perjalanan menuju Pulau Lengkuas


Dari Atas Mercusuar


All Blue. All Blue.


Bebatuan Eksotis


Mercusuar

Gokil. Meskipun cuaca nggak menentu, kadang mendung lewat, kadang cerah banget, gue justru bisa menangkap sisi – sisi yang berbeda padahal gue cuma berputar – putar di sebuah mercusuar. Keren abis! Memang pantaslah kalau mercucuar ini yang dijadikan andalan pariwisata Belitong.
Beneran nggak nyangka sih gue bisa sampai di puncak mercusuar. Sebenarnya pemandangan dari atas keren banget, tapi sayangnya sedang ramai pengunjung. Dan sekaligus gue nggak berani mengeluarkan smartphone gue. Takut jatuh banget. Dan gue justru heran dengan para turis lain yang bahkan susah payah memanjat satu tingkat lagi, tingkat tertinggi dari mercusuar yang sudah diberi tanda dilarang dimasuki. Hahaha. Gue nggak tahu, mereka nggak berpikir tentang keselamatan sendiri atau lupa kalau mercusuar itu tingginya 18 lantai. Demi beberapa gambar menarik, mereka jadi gila seperti itu.

Gue pun memutuskan untuk turun saja. Mungkin lebih baik kalau gue punya drone dan nggak perlu berebut mengambil foto sambil membahayakan diri sendiri seperti itu.
Setelah menjelajah mercusuar dan capek, gue memilih buat istirahat. Tapi bukan di pantai, melainkan di batu – batu besar yang menjadi sasaran empuk para tukang selfie. Gue pun melakukannya, foto – foto di sana. Seandainya ini bukan high season, gue yakin bakalan tenang banget suasananya. Tapi apa boleh buat, mau nggak mau gue harus menerima kenyataan kalau tempat ini nggak sedang dalam keadaan sepi.


Batu - Batu Besar yang merupakan spot yang Instagramable

Pas gue melihat mendung udah mulai datang lagi, kami memutuskan untuk pergi snorkling. Letaknya nggak jauh dari pulau, sih. Airnya bening banget, aseli. Karang – karang dan ikan – ikan di bawah juga beragam dan masih berwarna – warni. Menurut indikator abal – abal gue, kalau ikan masih beragam dan karang masih warna – warni, itu artinya ekosistem laut tersebut masih terjaga keasliannya. Karena nggak sedikit tempat snorkling yang gue temui sebelumnya, karangnya sudah menghitam, mati.

Tapi lagi – lagi alam nggak bersahabat. Meskipun kami berhasil snorkling dengan puas, namun kaki kami sering menginjak karang. Air laut sedang surut, kata si motoris perahu. Kami pun melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya.

Setelah beberapa menit, ombak mengantarkan kami ke Pulau Kepayang. Untuk masuk pulau ini pengunjung dikenakan restribusi IDR 15.000 tapi bisa dapat free drink dan fasilitas toilet. Di sini tersedia satu – satunya restoran di gugusan pulau – pulau ini, tapi gue nggak bersaran makan di sini sih buat para backpacker yang kantongnya pas – pasan. Beruntungnya, pas gue datang, nggak banyak pengunjung yang ada di sana. Kebanyakan mereka sudah bersiap beranjak dengan perahu masing – masing.

I found a little piece of heaven, again!

Cuaca memang mendung banget dan hasil jepretan kamera smartphone gue nggak begitu bagus (gue sedang malas mengatur mode pemotretan ke mode manual), tapi sepanjang trip, di sinilah gue paling menikmati suasana. Awalnya gue cuma duduk – duduk di bangku – bangku kosong sambil minum teh panas dan mengambil beberapa foto (bahkan ada bapak – bapak dari Korea yang bersedia memfotokan kami berdua di salah satu spot). Namun lama – kelamaan naluri gue menuntun langkah kaki menyusuri bibir pantai. Beberapa orang terlihat berjalan ke arah penangkaran penyu. Gue, yang nggak suka melihat penyu dipegang – pegang, menjauhi arus manusia itu dan memilih arah sebaliknya. Gue nggak tahu kenapa nggak banyak orang mengambil jalan yang gue lalui. Mungkin alasannya mereka lebih tertarik ke penangkaran penyu. Padahal……… tepi pantai yang gue lalui ini 

SEPI BANGET!

Elu semua baca kan, postingan gue tentang Derawan. Nah, tepi Pulau Kepayang yang gue tapaki ini mirip Pulau Sangalaki di Kepulauan Derawan. Di high season kayak gini aja, sisi pulau ini nggak ada yang menapaki, apalagi pas low season! GOKIIIIIILLLLLL!!!
Pasirnya lembut kayak tepung, ombaknya tenang, nggak ada manusia satupun selain gue dan temen gue. Lagi – lagi kami menemukan sisi tenang dari sebuah perjalanan. ASELI BETAH BANGET GUE DI SITU! Rasanya nggak mau balik. Seandainya aja mendung gelap nggak keburu datang, mungkin gue bakalan di situ sampai magrib nungguin sunset sekalian.




Pantai Kepayang
(ini bukan efek kamera, emang sebelah mendung, sebelah terang banget)


Pantai yang sisi ini SEPI BANGET! Kami cuma berdua. Mendung ya?


Nah sisi ini agak terang. Gimana, udah percaya kalo sisi pantai ini KEREN BANGET?????


Dengan berat hati gue meninggalkan kedamaian sisi pulau itu. BERAT HATI BANGET. Sejak dari derawan, baru kali itu gue ketemu lagi dengan sisi pulau yang nggak dijamah seorangpun.
Perjalanan pun berlanjut menuju pulau terakhir yang namanya Pulau Batu Berlayar. Pulau ini kecil, walaupun nggak sekecil pulau Pasir. Tapi batu – batunya gede banget. Sayangnya, lagi – lagi sayangnya, pas kami baru ambil beberapa foto, hujan turun. Makin lama makin deras. Mau nggak mau, kami kembali ke perahu, demi keselamatan kamera, hahaha. Untungnya masih ada beberapa jepretan foto yang kami dapat.


Abaikan model fotonya ya, cuma foto ini yang bisa diambil akibat hujan deras :(

Kabarnya, setelah Batu Garuda, pulau ini batuannya seperti mengambang dan berlayar kalau dilihat dari atas.

Akhirnya kami pun kembali ke Tanjung Kelayang dalam keadaan hujan sangat deras. Pakaian kami yang sudah hampir kering, kembali basah. Baru kali itu, selama perjalanan gue, mengalami hujan deras di tengah laut. Agak creepy sih tapi asik juga, berasa syuting film bajak laut pas kena badai, hahaha.

Sesampainya gue di Tanjung Kelayang, Kak Nofri sudah menyambut kami dengan penawaran makan makanan khas Belitong di sana. Sebenarnya si Kakak sudah menawarkan untuk memesankan makanan, tinggal telepon saja kalau sudah mau balik dan makanan akan secepatnya dimasak agar kalau kami balik sudah tersaji. Tapi karena hujan deras tadi, gue nggak mungkin mengeluarkan smartphone. Kami memesan masakan khas Belitong, namanya GANGAN.
Setelah membersihkan diri dan ganti baju, kami menikmati hidangan. Ternyata si Gangan ini adalah ikan yang disayur. Sejujurnya, gue agak kurang suka dengan ikan yang disayur seperti ini. pengalaman gue sih, amis rasanya. Tapi ternyata gue salah. Kali ini ikannya sama sekali nggak amis. Bumbu dan tambahan nanas membuat rasa amis ikan lenyap entah kemana. Dan entah karena lapar atau memang makanan ini benar – benar enak, kami kalap. Makanan di depan kami ludes seketika.


Gangan Pertama. Dan menurut gue yang paling enak.




Setelah itu perjalanan kami berlanjut ke pantai Tanjung Tinggi a.k.a Pantai Laskar Pelangi. Tapi sebelumnya si Kakak ngajakin kami ke tulisan yang wajib difoto pengunjung: “Welcome to Belitong”.


WELCOME TO BELITONG



Perjalanan ke Tanjung Tinggi lumayan jauh. Dan begitu sampai di sana, pantai itu sangat ramai pengunjung. Gue kehilangan momen lagi. Menurut gue sih, pantai ini menjadi sasaran pengunjung yang nggak ingin mahal – mahal keliling pulau. View bebatuannya nggak beda jauh, kalau dilihat sekilas. Dan yang penting: GRATIS.

Tapi pasir pantainya udah nggak putih lagi. Dan air pantainya pun keruh karena banyak pengunjung yang bermain di sana. Di sana juga banyak penyewaan alat snorkling dan perahu karet. Cocok buat kalian yang ingin bersenang – senang bareng teman. Tapi buat gue yang berburu ketenangan, pantai ini cuma tempat singgah.

Kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Oh iya, kami bertemu dengan sepasang bule di pantai Tanjung Tinggi yang sedang bermain bersama anak – anak kecil di tepi pantai. Dan baru gue sadar, belum ada bule “barat” yang gue temui sejak gue mendarat di Belitong, selain mereka. Dalam perjalanan menuju pantai terakhir, gue menanyakan itu kepada Kak Nofri. Ternyata, memang jarang ada bule “barat” di sini. Pun itu ada, mereka sudah punya aturan “tidak tertulis” yakni no bikini or sexy suit. Mayoritas penduduk Belitong memang menganut agama Islam dan menerapkan beberapa aturan di tempat – tempat wisatanya. Mungkin itu yang membuat mereka kurang tertarik dengan wisata di sini dan lebih memilih Bali, Lombok atau sekitarnya yang tergolong “bebas”. Kebanyakan wisatawan asing berasal dari daerah “timur” seperti China, Jepang, Korea, dan beberapa negara ASEAN.

Sampailah kami di Pantai Bukit Berahu setelah perjalanan yang panjang. Tenang, ini bukan bukit. Namanya aja Bukit Berahu. Dari luar, gue juga mengira ini bukit. Ternyata ada pantai di baliknya. Rimbunnya hutan melindungi sebuah tempat eksotis di baliknya. Tempat ini juga menawarkan ketenangan, loh. Sepiiiiiii banget.

Di sini ada sebuah cottage, restoran, free pool, dan yang paling gokil adalah view sunset. Sayangnya, langit sedang nggak bersahabat, lagi. Gue cuma bisa ambil beberapa foto ini.


Senja yang Sederhana


Senja (lagi)



Tapi beneran, sepiiii banget. Mungkin jarak yang jauh menjadi alasan beberapa wisatawan melewatkan pantai ini. padahal, beuh, gue ngebayangin aja kalo nggak mendung, senja di sini bakalan amazing deh. Semoga kalian yang membaca ini lebih beruntung ya!
Di pantai ini kita juga dikenakan biaya restribusi IDR 10.000 yang bisa ditukar sama free drink. Dari restoran, kita bisa menikmati view yang keren abis, bayangan senja, suara ombak yang tenang, kelap – kelip lampu kapal dari kejauhan, semuanya menjadi sebuah pemandangan yang dramatis. KEREN!


Nih, kolam renang gratisssss!

Oke, perjalanan kami seharian di pantai telah berakhir. Eits, bukan berarti kami langsung balik penginapan, ya. Kami masih punya sisa tenaga untuk berbelanja oleh – oleh. Kak Nofri mengantarkan kami ke tempat pusat oleh – oleh Belitong, toko KLAPA namanya. Di sini tersedia segala macam produk khas Belitong. Dan enaknya lagi, melayani pengiriman via POS so gue bisa kirim – kirim ke orang rumah tanpa repot – repot membawa. Oh iya, FYI lagi nih, buat elu yang sering nggak prepare uang cash dan sekaligus nggak punya kartu kredit atau kartu debitnya nggak bisa seenaknya digesek, harap hati – hati. Kami sempat pusing cari ATM. Untungnya di parkiran sebuah hotel berbintang, kami menemukan sebuah ATM yang ada isi duitnya, hahaha.


Namanya Toko KLAPA

Setelah berbelanja makanan dan kaos, kami ingin membeli batik khas Belitong. Kak Nofri mengantarkan kami ke sebuah galeri batik bernama toko SEPIAK. Galeri ini penjualnya ramaaaah banget. Suka banget sama pelayanannya. Harga batiknya pun menurut gue lebih murah dari beberapa toko yang bakalan gue ceritakan selanjutnya. Gue membeli beberapa kain batik.


Lupa nggak nge-foto tokonya, gue foto bungkus batiknya aja ya :)

Akhirnya, setelah uang terkuras, kami memutuskan kembali ke penginapan. Setelah masuk kamar, ternyata pertu kami menuntut untuk diisi. Kebetulan penginapan nggak menyediakan makanan berat. Kami pun terpaksa harus berjalan keluar penginapan. Untungnya nggak begitu jauh, kami menemukan beberapa penjual makanan: sate, nasi goreng, ketoprak, dan sekoteng. Kami membeli sate dan sekoteng. Dan kami terkejut dengan harganya: MURAH BANGET! Dan ada yang aneh dengan lontong satenya, bentuknya kerucut. Gue cuma terheran – heran dalam hati dan akhirnya terjawab di keesokan harinya. Perjalanan hari pertama MENAKJUBKAN!



Hari kedua di Belitung:
Pagi ini mendung sepertinya memberi selamat kepada kami karena keputusan kami berkeliling pulau di hari sebelumnya. Nggak kebayang banget kalau hari ini kami memutuskan keliling pulau, malah nggak dapet view apapun gara – gara hujan. Dan hari ini, kami akan menjelajah Belitong Timur. Merasa akan berjalan jauh, sesuai keterangan Kak Nofri, kami memutuskan untuk mengisi pertu terlebih dahulu. Kak Nofri sudah siap mengantar kami pukul 8 pagi. Tapi sebelum berangkat kemana – mana, kami meminta si Kakak mengantarkan ke tukang Laundry kiloan. Penginapan memang menyediakan jasa laundry, tapi karena si pemilik penginapan baik hati banget, kami diarahkan ke tukang laundry kiloan yang memang sering dipakai juga oleh para wisatawan. Laundry ini melayani jasa ekspress, sehari bisa selesai.
Kembali ke sarapan, kami diantar ke warung makan terkenal: MIE ATEP. Penasaran bentuknya?


Mie Atep

Seperti yang sudah banyak diulas di beberapa blog, mie Atep ini disebut juga mie artis. Pukul 8 pagi udah buka loh, pas di jam sarapan. Menurut gue sih memang enak dan porsinya pas buat perut kecil gue. Rasa udangnya terasa banget, dipadu dengan emping dan kuah yang gurih. Tapi yang menarik gue adalah mie ini sebelum disajikan, ditutup dengan lembaran daun lebar, mirip daun jati.


Ditutup Daun Loh, Mie nya :)

Dan, selepas meningalkan warung, gue mendapat jawaban kenapa lontong semalam dibungkus bentuk kerucut dan kenapa mie tadi ditutup daun lebar. Ternyata itu adalan DAUN SIMPUR, tanaman khas Belitong. Memang bentuknya mirip dengan daun jati dan juga dipakai untuk membungkus atau menutup makanan di Belitong ini.
Setelah dua jam di jalan, perjalanan pertama kami di hari kedua ini diawali dengan sebuah tempat yang dinamai REPLIKA GEDUNG SEKOLAH LASKAR PELANGI.


Masih banyak lahan kosong di Belitong Timur

Memang tempat ini dulu digunakan untuk lokasi syuting film Laskar Pelangi sih. Ya, cuma tempat buat foto – foto aja sih. Tapi di sini juga ada galeri batik kok. Yang harganya agak mahal sedikit dari galeri batik sebelumnya. Disini yang spesial adalah kita bisa melihat pembuatannya langsung.
Beranjak dari tempat ini, kami melanjutkan perjalanan ke MUSEUM KATA. Khusus tempat ini, pengunjung diwajibkan membayar mahal, IDR 50.000 per orang untuk masuk dan sebuah buku karya Andrea Hirata. Tapi menurut gue wirth it sih. Buat pecinta foto, semua sisi museum ini cocok buat ditake deh. Nggak cuma bangunan dan penatannya, kata – kata yang ditulis di seluruh sisi museum cukup keren ditangkap kamera.


Pintu Masuk



Banyak Pintu, ua :)


Letters :)

Cukup lama sih gue berada di museum ini, menghabiskan semua sisi museum ini kayaknya nggak cukup sehari sih.

Selepas tengah hari, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini langsung menuju dua tempat, yakni Galeri Daun Simpur di Rumah Ahok dan Rumah Adat Belitong.


Galeri Daun Simpor


Suasana di dalam Rumah Adat


Di sini kami cuma mengambil beberapa foto dan membeli beberapa gantungan kunci di galeri Daun Simpur. Di sini juga jual batik sih, tapi harganya kurang recommended menurut gue.
Perjalanan kembali berlanjut panjang menuju pantai. Kali ini kami mampir karena perut sudah minta diisi lagi. Sebenarnya perjalanan kami kali ini menuju sebuah pantai bernama Pantai Nyiur Melambai, namun di pantai itu, menurut keterangan si Kakak, nggak ada tempat makan. Jadi kami meluncur ke pantai sebelahya, bernama Pantai Serdang. Di pantai ini berjajar beberapa rumah makan yang langsung menghadap ke arah pantai. Harganya pun tidak terlalu mahal (walalupun masih lebih mahal daripada di daerah Belitong Barat).

Setelah mengisi perut, kami berjalan – jalan sebentar menyusuri pantai. Ternyata kami menemukan sesuatu yang KEREEEEEEEEEEN!


Seperti Hutan Cemara


Little Piece of Heaven :')



Tempat ini terletak di ujung pantai, tempat bertemunya air laut dan air sungai. Pasirnya putih dan lembut banget. View yang gue dapat pun nggak kalah dengan pantai – pantai di Belitong Barat kemarin.
Namun, dibalik keindahannya, saat kami kembali Kak Nofri bercerita bahwa sebenarnya tempat itu sedikit berbahaya. Karena tempat pertemuan air laut dan air sungai adalah tempat yang disukai buaya. Dan kabarnya buaya di sana masih liar dan besar – besar. Hahahaha. Keberuntungan masih berpihak di kami, informasi ini kami ketahui setelah kami mengambil sisi indahnya tempat itu.
Perjalanan berlanjut, kali ini kami berpapasan dengan barisan jalan santai penduduk dalam merayakan hari jadi kemerdekaan RI yang ke 71.
Pantai Nyiur Melambai tidak memiliki sesuatu yang khas atau spesial, menurut gue. Kami memilih menuju pantai ini dan melewatkan Vihara dan Pantai Burungmandi karena jarak tempuh yang jauh lebih dekat. Kenapa? Karena kami masih punya beberapa tujuan lain.


Pantai. Pasir dan Air Laut.


Replika Batu yang banyak ditemukan di Belitong



Hanya 10 menit kami di pantai ini dan kami kembali menuju Tanjung Pandan, Belitong Barat. Perjalanan kami terhalang oleh hujan lebat. Tapi kami masih beruntung (lagi), karena begitu tiba di lokasi yang kami tuju, hujan tinggal rintik – rintik. Ya, kami menuju tempat yang dinamai Danau Kaolin. Ternyataaaaaaaaa, tempat ini adalah area pertambangan. Kebetulan nih, cuma ada kami di sana. Area ini adalah tambang Kaolin yang banyak bertebaran di Belitong. Kaolin sendiri adalah bahan pembuat kaca, jadi wajar aja kalau kubangan air di area pertambangan yang mirip danau ini airnya bisa dipakai untuk bercermin.


Kubangan Kaolin

Kak Nofri tiba – tiba memperingatkan kami untuk tidak terlalu jauh. Gue sempat protes karena di instagram gue melihat ada wisatawan yang bisa mengambil gambar sampai ke tengah “kubangan” air itu. Ternyata, daerah pertambangan itu sebenarnya berbahaya. Menurut penuturan Kak Nofri, pernah ada orang yang meninggal karena tenggelam di kubangan pertambangan ini saat asik berfoto. Hamparan Kaolin yang serupa dengan pasir pantai ini sebenarnya karakternya mirip pasir hisap, sekali kaki menancap di sana, tubuh pun akan tersedot. Itulah kenapa ada larangan mendekati atau berenang meskipun airnya sangat tenang. Jadi, sebenarnya kawasan ini sama sekali bukan kawasan wisata.

Karena hari masih sore, selepas dari Kubangan Kaolin (biarkan gue menyebutnya demikian) kami menuju pantai di pusat kota. Namanya Pantai Tanjung Pendam. Pantai ini adalah pantai yang paling sering dikunjungi oleh penduduk karena letaknya di pusat kota, yakni Tanjung Pandan. Katanya, kalau beruntung sunset di sini cukup bagus. Karena semua itinerary sudah habis, kami setuju. Ternyata kami masih belum beruntung menemukan si sunset. Untungnya, karena habis hujan, pantai ini sangat sepi, lagi – lagi isinya hanya kami. Menikmati sunset yang tersapu mendung di pantai ini cukup dramatis.


Pantai Tanjung Pendam


Sunset yang Sederhana



Karena kami agak kedinginan, Kak Nofri menawari kami untuk minum kopi khas Belitong. Sejujurnya gue bukanlah pecinta kopi. Untung saja partner backpaking gue doyan kopi. Di pikiran gue, gue cukup tau tempatnya dan nemenin temen gue aja. Tapi ternyata, setelah melihat tempat dan keramahan pemilik kedai kopi yang bernama Kong Tjie Coffe ini, gue akhirnya bisa menikmati kopi dengan tingkat kafein terendah. KOPINYA ENAK! Itu yang pertama keluar dari mulut gue setelah menyesap kopinya. Sewaktu memesan, si pemilik memang menanyakan apakah gue biasa minum kopi dan pastinya gue jawab kalo gue nggak suka kopi, so beliau membuat sebuah racikan yang entah kenapa pas gue minum rasanya benar – benar enak. Gue dikasih kopi susu, tapi entah kenapa rasanya enak banget dan buat gue yang sering mual setelah minum kopi, racikan si bapak pemilik kedai ini benar – benar ramah di perut gue. Well, kalau elu memang pecinta kopi, wajib hukumnya buat mampir ke kedai ini. Eits, tapi jangan di cabangnya ya, di kedai pusatnya karena menurut pengakuan dari pemilik sendiri, yang rasanya paling otentik sih memang di kedai pusat karena peraciknya adalah keturunan dari pendiri Kong Tjie Coffe. Oh iya, kalian juga bisa membeli kopi bubuknya loh, sekalian mendapat tutorial singkat bagaimana cara menghasilkan kopi yang seenak kopi di kedai ini.


Kong Djie Coffe


Ngopi dulu, yuk!



Karena kami sudah tidak punya tujuan lain, kami berniat mengakhiri perjalanan kami di sebuah tempat makan Khas Belitong, namanya Restoran Timpo Duluk. Sebenarnya kami tidak terlalu lapar tapi mengingat perjalanan kami sudah usai, jadi kami singgah di restoran ini selain untuk makan juga untuk beristirahat.


Rumah Makan Timpo Duluk

Tempatnya nyaman banget, apalagi lagi – lagi kami sendirian di rumah makan sebesar itu. Jadi kami bebas memilih spot yang asik buat ngobrol. Kami memesan sebuah menu yang unik, ini nih.


Menu Super Jumbo yang entah kenapa kami membelinya, haha

Kami menghabiskan waktu berjam – jam di tempat ini. Dan ketika kami membayar di kasir, kami bertemu sepasang bule yang kami temui di Pantai Tanjung Tinggi kemarin. Ternyata si bule lancar banget berbahasa Indonesianya. Menurut mbak – mbak penjaga kasir sih, mereka sengaja beberapa minggu di Belitong untuk mempelajari Indonesia. Wah, keren banget ya. Gue pikir, gue cuma bisa lihat yang gituan di acara televisi, hahaha. Dan, si bule ternyata motoran loh keliling Belitong. Kereeeen!



Oke, finally my trip ended here. Kami kembali ke hotel dengan perut kenyang dan hati senang. Oh iya, gue mau bagi – bagi tips singkat, merangkum kisah gue di atas, buat para NEKAT TRAVELLER yang mau menjelajah Belitong:
  • Sebaiknya tidak melakukan wisata di musim Barat, yakni sekitar November sampai Maret karena air keruh.
  • Sebaiknya pergi berkelompok, tapi gue nggak bersaran ikut trip yang sudah berjadwal dan jadwalnya nggak fleksibel. Pasalnya, Indonesia musimnya sedang nggak menentu. Sekedar antisipasi aja, kalau elu sewa mobil sendiri (entah itu exclude atau include driver), elu bisa bebas mengatur itinerary yang udah bertebaran di blog – blog orang (termasuk blog gue ini).
  • Kalau elu mau sewa mobil yang exclude driver, sebaiknya hati – hati dalam berkendara. Menurut penuturan driver kami, sering terjadi kecelakaan tunggal yang disebabkan oleh pengemudi yang sok kebut – kebutan di daerah yang bahkan belum mereka kenal sama sekali.
  • Sebaiknya membawa bekal makanan sendiri ketika melakukan Island Hopping. Tapi jangan lupa, JAGA LINGKUNGAN DENGAN TIDAK MEMBUANG SAMPAH SEMBARANGAN.
  • Sebaiknya selalu hati – hati meskipun lokasi wisata itu sangat menarik untuk di foto. Pesan gue sih, JANGAN SAMPAI LUPA MENIKMATI KEINDAHAN ALAM GARA – GARA KEASIKAN AMBIL FOTO. Rugi loh, hehehe.

Bye, Belitong :)

Ohiya, nih gue kasih bonus nomernya Kak Nofri: 081929789535

Sekian kisah perjalanan gue yang super dadakan kali ini. Terima kasih banget udah bersedia membaca corat – coret absurd ini. Semoga bermanfaat buat kalian. And see you on the next trip!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

BACKPACKER ABSURD to LOMBOK

Hi!
(send me a message for translate in English)

Selamat berjumpa lagi di posting absurd gue.
Sebelumnya maafin ya, postingan tentang perjalanan sebelumnya terlihat belum rapi dan belum ada foto (no pic = hoax, katanya). Selain karena pekerjaan yang padat dan koneksi yang buruk banget, gue mungkin terlalu memprioritaskan cerita perjalanan kali ini.

Yap, my “dream trip” finally come true.

Kyaaaaaa!

Oke, selamat menikmati ke-absurd-an gue. Tapi sebelumnya, gue mau memperingatkan bahwa posting kali ini mungkin nggak se-epic posting di blog orang – orang kebanyakan tentang Lombok. Dan hasil jepretan gue juga nggak sekeren mereka. But, I hope you still enjoy this different point of view.



DAY 1


Seperti biasanya, gue ke Lombok bukan semata – mata buat trip. Gue ada “tugas negara” di sini. Selepas gue menunaikan tugas itu, gue pun nggak mungkin melewatkan kesempatan emas yang udah gue impikan selama bertahun – tahun ini.

Pukul 8 pagi, gue udah siap dengan sebuah tas punggung dan jaket. Kali ini perjalanan gue nggak pakai mobil travel atau angkutan umum. Gue melalui perjalanan panjang ini bareng salah satu temen gue (cewek, lajang, tangguh, dan easy going hahahaha!) pakai motor. Kenapa motor? Karena gue trauma sama travel agent (baca postingan perjalanan sebelum – sebelumnya) dan angkutan umum di lombok agak susah. Bukannya nggak bisa ditemui, tapi rute angkutan umumnya susah menyesuaikan itinerary kami. Hahaha! Tapi tenang, nanti bakal gue infokan juga buat kalian yang single – traveller dan nggak bisa pakai motor.

Jadi, gue pagi itu baru tanya – tanya dimana tempat penyewaan motor. Akhirnya kami menemukan sebuah tempat persewaan di daerah Cakranegara. Sebuah rental motor yang sekaligus ada hotelnya.




Bukan promo, bukan iklan, gue cuma - cuma ngepost kartu nama di blog gue biar orang yang butuh nggak kesulitan mencari hehehe


Kami pun sebenarnya agak ragu – ragu, apakah kami bisa menuju tempat – tempat wisata yang sama sekali tidak kami ketahui keberadaannya. Untunglah, kami selamat berkat marka jalan. Haha.

Ada sedikit tips buat kalian yang sewa motor:

1.       Pastikan kalian diberi STNK, helm dan jas hujan (meskipun jas hujannya bisa jadi nggak terpakai).
2.       Cek mesin motor sebelum memutuskan menyewa, terutama kalo kalian mau sewa motor matic. (Jalur jalanan Senggigi – Gili – Pusuk adalah jalur pegunungan berkelok dan naik turun, silahkan memilih mau motor manual atau matic).
3.       Dan yang paling penting, periksa BAN! Kami mengalami pecah ban luar dalam (kesalahan bukan dari kami loh, hanya saja kami lupa cek ban pas berangkat). Untung aja sudah di daerah Mataram. Kebetulan pemilik persewaan ini baik banget, kami dijemput dan ditukar motor. Highly recommended lah kalo mau sewa di sini. Sayangnya jumlah motornya nggak terlalu banyak.

And finally, kami berangkat menuju Gili Trawangan. Sebenarnya menuju Gili Trawangan ada dua jalur, lewat Senggigi atau lewat Pusuk. Kami memilih perjalanan terjauh yaitu lewat Senggigi karena hari masih pagi dan kami “merasa” nggak terburu – buru.
Kami pada dasarnya nggak tau dari mana ke mana batas Senggigi itu. Pokoknya sepanjang perbukitan itu view-nya keren banget. Dan pada akhir perjalanan kami baru sadar kalo tempat – tempat yang kami anggap eksotis itu bagian dari Senggigi dan Bukit Malimbu. Pantesan keren banget tempatnya, haha!


Damai di Senggigi


Senggigi dari ketinggian


Singgah sejenak...


Semacam makam gitu sih

Kami pun sempat mengunjungi pelabuhan yang melayani tujuan Bali – Lombok.


Pelabuhan antar pulau

Kami cuma singgah di beberapa pos pemberhentian buat ambil foto, selanjutnya melaju ke Pelabuhan Bangsal, tempat penyeberangan ke Gili Trawangan.
Kapal di Pelabuhan Bangsal ada 3 jenis. Pertama, kapal publik yang harga tiketnya 20.000 rupiah per orang. Keberangkatannya tergantung kapal itu penuhnya kapan, asalkan udah 40 orang bakalan berangkat. Kedua, fast boat yang harga tiketnya 85.000 rupiah per orang. Ada jadwal keberangkatannya, kalau nggak salah tiap satu jam sekali dari pukul 9 pagi sampai 5 sore (pulang pergi 3 Gili). Ketiga, kapal sewaan yang harga sewanya gue kurang tahu, sekitar 100.000 rupiah ke atas.

Kami menjatuhkan pilihan pada fast boat, karena ingin hemat tapi malas menunggu kepastian (tsaaaaah!). Dan berangkatlah kami setengah jam kemudian, setelah berhasil mengisi perut di dekat pelabuhan. FYI, harga makanan di Lombok ini cukup murah. Bahkan kalo menurut kami yang sudah bergaul dengan harga luar jawa, Lombok menjanjikan kuliner yang murah. Motor kami parkir di penitipan motor, tarif per hari 10.000 rupiah/motor.

Secara nggak sengaja kami bertemu dengan dua cewek bule yang sedang kebingungan. Ternyata mereka bingung bagaimana kembali dari Pelabuhan menuju Gili Trawangan via kendaraan umum. FYI, nggak ada kendaraan umum menuju dan dari Bangsal – Mataram. Kalian harus menyewa mobil, carter angkot atau naik motor seperti kami. Bule ini ditawari carter angkot dengan harga 50.000 rupiah untuk 2 orang dan mereka menganggap itu harga yang mahal banget. Gue sebenarnya ketawa sih, mereka nggak tahu kalo tarif sewa mobil sebenarnya di atas 100.000 rupiah. Si sopir angkot pun memperingatkan gue untuk nggak membantu si bule yang dia sebut “pelit” itu. Hahaha. Ada – ada saja kejadian absurd yang menimpa kami.


Fast Boat menuju Gili Trawangan

Melu curlah kami ke Gili Trawangan. Sebelumnya boat kami singgah di Gili Meno dan Gili Air.

Dan akhirnya tibalah kami di Gili Trawangan.


Pelabuhannya


Cafe dan Bar nya


Jalanannya di siang hari. Malam harinya akan dipenuhi wisatawan asing, mayoritas.


Pemandangan Gili Trawangan nggak sesuai ekspektasi gue. Awalnya gue pikir Gili Trawangan adalah tempat semacam Derawan, sebuah pantai berpasir putih yang sepi. Kenyataannya, begini.


Jalanan sudah disemen walaupun ada beberapa tepian pantai yang berpasir sehingga harus turun dan menuntun sepeda :)


Karena gue nggak sempat browsing penginapan murah sebelumnya, gue akhirnya jalan nggak tentu arah. Ketemulah kami dengan mas2 “calo” hotel. Entah kenapa kami pun akhirnya terdampar di sebuah penginapan seharga 200.000 rupiah dengan fasilitas AC dan fan. Harusnya sih, harganya nggak segitu. Kami tawar menawar aja, pemiliknya ramah banget. Penginapan ini juga menyediakan jasa rental sepeda. Dan akhirnya untuk harga rental sepeda pun kami mendapat potongan harga, hanya 40.000 saja per sepeda selama seharian.


Penginapan


Penginapan lagi


Lagi - lagi penginapan


Sekali lagi, gue nggak promo. Blog ini sama sekali tidak berbayar ataupun dibayar oleh siapapun.


Kami pun bersepeda keliling Gili Trawangan. Beberapa orang menawarkan paket snorkling 3 pulau seharga 100.000 rupiah. Sebenarnya harga sekian sangat murah, paket sudah include alat snorkling dan baju pelampung. Tapi yang menjadi permasalahan adalah jadwalnya. Berangkat dari Gili Trawangan pukul 10.30 dan kembali pukul 15.00. Seandainya kami tadi nggak bersantai di Senggigi, mungkin kami masih bisa ikut jadwal hari ini. Mengingat itinerary kami yang padat dan besok paginya kami harus sudah pulang ke Mataram, kami memutuskan untuk menyewa alat snorkling dan berenang di sekitar Gili Trawangan saja. Harga sewa alat plus baju pelampung adalah 30.000 per 3 jam. Kami pun berenang di Turtle Spot, walaupun akhirnya nggak menemukan satu penyu pun. Haha. Sayang sekali kami harus melewatkan snorkling 3 pulau itu, padahal pemilik penginapan sudah berbaik hati mau memperpanjang jam check out kami, loh! Benar – benar pemilik penginapan yang ramah.

Setelah capek snorkling, kami memutuskan untuk melanjutkan bersepeda keliling pulau. Gue merasa ada di negara lain, serius! Bule dimana – mana, bar berjejer rapi di sepanjang jalan, dan wisatawan domestik jarang sekali ditemui.

Gue sempat beli minum di warung kecil tepi jalanan dan yang melayani adalah anak sekitar 10 tahun. Dia fasih banget berbahasa Inggris. Gue sempat kagum, tapi mendadak kecewa setelah tahu dia nggak sekolah. Menurut pemikirannya, sekolah itu nggak penting dan dia bisa pintar hanya dengan belajar dari pengalaman. Ya, mungkin penduduk seluruh pulau ini semua learning by doing. Tapi gue merasa itu justru mem-barat-kan Indonesia. Dilema memang. Kalo kita memaksa para turis bisa memahami bahasa Indonesia, pariwisata kita akan sepi. Tapi sebaliknya, kalo kita memaksa mem-barat-kan Indonesia, jadinya malah merugikan diri sendiri. Betapa menyedihkannya ketika gue melihat menu – menu di bar atau restoran yang di-barat-kan namanya. Menurut gue, perkedel yang diubah namanya menjadi potato cake adalah absurd. Untungnya rendang masih bertuliskan rendang, bukan beef with spicy sauce. Duh. Tapi ya, sekali lagi, this is my own opinion loh. Hehe.

Jalanan berpasir membuat gue, yang jarang olah raga, sedikit terengah – engah.  Dan kami secara nggak sengaja nyasar ke jalan pintas yang meskipun jaraknya lebih dekat menuju spot sunset tapi agak sepi.


Si Bule ikut berpose pas gue ambil foto temen gue ini. Sayangnya doi langsung pergi, gue nggak sempat tahu siapa namanya. Hahaha.

Akhirnya, yang gue tunggu selama 5 tahun tiba juga. SUNSET GILI TRAWANGAN!


Gue bener – bener speechless.

Setelah hari mulai gelap, gue mulai merasa capek. Tapi sepertinya jarak antara spot sunset dan penginapan kami masih jauh. Berjuanglah kami menerobos jalanan dan beberapa spot penuh bule.
Tiba – tiba kami menemukan sebuah spot tempat makan di luar cafĂ© dan bar yang menjamur. Seperti sebuah kumpulan kaki lima lah. Kami pun meutuskan untuk makan dulu sebelum kembali ke penginapan. Gue nggak seberapa menikmati malam di Gili Trawangan karena gue nggak begitu suka keramaian yang keterlaluan, hehe. Selain itu, gue menghemat budget, hahaha!

Kami hanya menghabiskan 40.000 rupiah untuk 2 porsi soto (khas Lombok sepertinya, karena kuahnya agak aneh, seperti berwarna kehitaman) lengkap dengan sebotol air mineral. Harga yang lumayan murah untuk harga makanan di objek wisata.

Selepas makan, kami berusaha mencari dimana letak penginapan kami. Di tengah jalan, kami secara tidak sengaja menemukan penjual ice cream. Kami pun tertarik. Satu scoop hanya 15.000 rupiah. Saat membeli ice cream itu, gue membaca sebuah list harga penyeberangan.


Seakan - akan kami couple ya. Sial. Haha.



Papan info yang sempat gue foto


Dan kami baru sadar kalo penginapan kami jauh banget masuknya ke dalam gang. Hahaha! Dan malam kami berakhir dengan tepar di kamar aja, kecapekan.


DAY 2

Kami bangun subuh dan segera bergegas mencari pemandangan fenomenal selanjutnya: SUNRISE! Keadaan pagi hari sangat kontras bila dibandingkan dengan malam hari. Benar – benar sepi. Hanya ada pegawai bar atau restaurant yang membereskan kedai mereka. Momen ini yang paling gue suka. Sepanjang pantai masih belum ada manusia. Dan, WOW! Pemandangan sunrise di sini benar – benar…nggak kalah sama sunset!

Lagi – lagi, speechless!


Romantis. Banget.

Setelah merasa harus beranjak (padahal, serius, gue kerasan di suasana sunrise kayak gitu!), kami berniat menuju penginapan untuk sarapan. Tapi di tengah jalan kami bertemu dengan ibu – ibu penjual nasi. Katanya, itu nasi khas Lombok. Namanya nasi PUYUNG. Semacam nasi campur gitu tapi ada kriuk nya, entah dari apa. Kami pun memilih makan nasi Puyung daripada hanya sekedar makan roti bakar di penginapan, hehe.

Setelah perut kenyang, kami memutukan untuk segera membeli tiket kembali menuju Bangsal. Lagi – lagi, dalam perjalanan kami bertemu dengan penjual ice cream. Kali ini ada namanya: Gili Gelato. Harganya memang lebih mahal dari yang malam itu tapi rasanya pun lebih enak, hehe.


Gelato kedua. Kali ini gue udah nggak mau dikira couple lagi. Hahaha.


Kami membeli di saat penjualnya baru aja buka kedainya. Sepiiii.


Dengan berat hati, setelah tiket balik sudah di tangan, gue harus ikhlas meninggalkan Gili Trawangan. Gue bertekad akan kembali lagi.

Sesampainya di Bangsal, kami melanjutkan perjalanan. Hari kedua ini kami ingin mengeksplore Pantai Kuta Lombok dan sekitarnya. Hanya saja jaraknya terlalu jauh, jadi kami memutuskan untuk beristirahat di Mataram dulu. Buat kalian yang nggak bawa motor, banyak kok persewaan taksi atau mobil bahkan angkot di pelabuhan Bangsal. Hanya saja, kalian harus tahu berapa rate sewanya. Jangan kayak bule yang pernah kami temui sebelumnya. Haha!
Kami memilih jalur lewat Pusuk untuk menuju Mataram. Jalur ini cukup ekstrim dan berkelok – kelok, juga naik turun meskipun jarak tempuhnya jauh lebih singkat daripada lewat Senggigi. Di sisi kiri dan kanan jalan adalah hutan rimba yang rimbun. Beberapa kera tampak berjajar di tepi jalan. Sepertinya mereka masih liar namun terlihat jinak.
Tengah hari kami sampai di Mataram. Kami memilih masjid raya Lombok sebagai tempat istirahat, sekaligus mencari makan siang murah di sekitar masjid. Setelah satu jam lebih, kami melanjutkan perjalanan menuju Kuta.

Tak disangka, ternyata untuk menuju Kuta kami melewati Desa Sasak Sade, pusat kerajinan tenun khas Lombok. Akhirnya kami mampir dulu ke sana.
Untuk menikmati objek wisata Sasak Sade, pengunjung diharuskan menyewa giude. Memang, itu dibutuhkan untuk mengetahui sejarah tempat ini. Awalnya kami tidak tahu berapa biaya sewa guide. Dengan berbagai cara akhirnya gue mendapat informasi dari para supir taksi dekat situ, harga sewa giude hanya 30.000 rupiah.

Desa Sasak Sade memang masih tradisional. Di sana kami juga bisa praktek bagaimana cara menenun.


Jalanan kembali dari Bangsal (lewat Pusuk)


Karena gue motret dari motor yang melaju kencang, monyet - monyet ini jadi kurang jelas


Sekali - kali, gue menampilkan penampakan gue, boleh, kan?



Rumah di Desa Sasak Sade


Peralatan menenun, Sebenarnya ada foto pas kami diajari menenun tapi, ah sudahlah, mendingan nggak terlalu banyak menampilkan penampakan gue di blog ini hahaha



Desa ini menjual hasil kerajinan mereka


Katanya ini tempat menyimpan hasil panen


Entah karena kami merasa nggak enak kalo nggak beli atau karena memang kami tertarik, akhirnya masing – masing dari kami membeli sebuah hasil tenun para ibu – ibu desa ini. Hahaha!

Kami pun melanjutkan perjalanan panjang menuju Kuta.

Gue pikir, Kuta itu adalah pantai seperti Senggigi dan sejenisnya. Ternyata….gersang. Hanya batu – batu. Tepian pantainya jauh. Dan yang mengganggu adalah anak – anak kecil yang memaksakan membeli barang dagangan mereka. Mengganggu, menurut gue. Boleh menawarkan tapi tolong lah jangan memaksa kayak gitu.


Kuta Lombok


Spot yang dipake foto sejuta umat


Senjanya nggak kelihatan

Kami pun mencari penginapan. Terdamparlah kami di penginapan Doyok. Kami juga memilih random, belum ada list sama sekali. Kamarnya lumayan nyaman, hanya saja airnya asin jadi kami kurang nyaman. Ya sudahlah, mungkin seluruh penginapan juga asin airnya. Dengan fasilitas fan kami mendapat harga 120.000 rupiah.

Setelah sejenak beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menuju Tanjung Aan. Gue pikir perjalanannya nggak jauh tapi ternyata jauh dan sepi jalurnya. Dan papan penunjuk jalan sangat minim sehingga mau tidak mau harus mengira – kira sendiri arah jalanannya.

Betapa kecewanya kami, ketika sampai di Tanjung Aan, penjaga parkir memperingatkan kami kalo tidak boleh terlalu sore di pantai. Alasannya adalah keamanan di jalan menuju Kuta yang katanya rawan. Apalagi kami berdua cewek. Padahal gue ingin banget naik ke atas bukitnya. Peringatan buat kalian yang mau ke Tanjung Aan, pilihlah waktu sebelum senja.

Kami juga ditawari menyeberang ke Pantai Batu Payung, yang ada batu2 bagus gitu, netuknya kayak payung. Sekali lagi, kami harus menolak. Bukan karena duit, tapi menuju ke sana cukup memakan banyak waktu.

Akhirnya kami hanya mendapat beberapa foto mainstream.



Bukit di Tanjung Aan


Harusnya bisa naek ke bukit itu atau menyeberang ke Batu Payung, sayangnya udah kemaleman


Senjanya nggak kelihatan juga

Untungnya, gue mendapat pemandangan senja yang menawan saat perjalanan pulang.



DAY 3

Perjalanan kami di awal hari ketiga ini dimulai dengan adegan pecah ban. Beruntungnya kami, ban kami pecah tepat di depan Toko Oleh – oleh Sasaku, tepat beberapa meter setelah memasuki kota Mataram. Dan beruntungnya juga, si pemilik persewaan dengan senang hati menjemput kami dan mengganti motor dengan motor lain karena kami sudah terlanjur sewa selama 3 hari. Oh iya, kami juga mendapat harga murah saat menyewa motor. Ukuran sewa motor di daerah Mataram, harga 70.000 rupiah per hari untuk motor matic termasuk murah.

Kami melanjutkan perjalanan dengan motor baru. Karena kami belum sempat sarapan, kami pun berniat merapatkan motor kami di warung apa saja yang sudah buka. Beruntung, warung Nasi Puyung khas Lombok di sekitaran cakranegara sudah buka.



Ini yang namanya Nasi Puyung khas Lombok

Setelah kenyang kami pun mencari objek wisata di sekitar kota Mataram saja karena tenaga sudah tidak sanggup melanjutkan perjalanan ke pantai Pink yang terletak di Lombok Timur. Buat kalian yang berniat memperbanyak objek wisata di Lombok, harus punya fisik yang siap terlebih dahulu atau bisa juga punya kantong tebal, jadi nggak perlu naik motor. Cukup sewa mobil. Hahaha.

Kami memutuskan untuk mencari penginapan terlebih dahulu, berniat untuk mengurangi beban punggung.

Lalu kami menuju bebrapa taman yang terkenal di Mataram. Salah satunya taman air mayura.


Taman Air Mayura


Semacam danau gitu sih


Penginapan ketiga kami


Suasananya asri, dekat dengan Mataram Mall


Ingat, sekali lagi ini bukan iklan atau promosi. Bukan blog berbayar!

Mainstream sih, tapi cukuplah untuk sekedar beristirahat. Dan karena kami merasa sudah cukup berkeliling Mataram, kami pun mencari oleh – oleh di Sasaku (pusat kaos Lombok) dan juga mencoba melihat – lihat Mall Epicentrum Lombok. Akhirnya kami terdampar di salah satu corner yang menyediakan menu ice cream pot.


Ice Cream Pot


QUOTES!!!

Sisa waktu kami habiskan menglilingi Mataram tanpa tujuan dan berakhirlah perjalanan singkat kami.
Keesokan paginya kami sudah bersiap untuk meninggalkan Lombok. Sebuah perjalanan absurd yang berkesan, gue benar – benar ingin kembali lagi ke Gili Trawangan. Segera.

Oke, see you on my next trip!


Keep calm and travel often!

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS